Play all audios:
MANILA, IDN TIMES - Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada hari Jumat (5/3) berpidato dalam pertemuan pemerintah melawan komunisme di negara tersebut. Dalam pidatonya, Duterte memerintahkan
pasukan militer dan polisi untuk menembak dan membunuh pemberontak komunis bersenjata. Kabar dari perintah Duterte semakin meningkatkan kekhawatiran baru di Filipina. Kecemasan menyeruak
akan terjadinya pertumpahan darah terbaru yang seperti, ketika presiden Filipina itu menyatakan perang melawan narkoba. 1. PARA PEMBERONTAK SERING MELAKUKAN KEJAHATAN Presiden Rodrigo
Duterte. (Twitter.com/PH News) Konflik bersenjata komunitas komunis lokal masih sering terjadi di Filipina bagian selatan, khususnya di pulau Mindanau. Kelompok komunis di wilayah tersebut
dinilai oleh Presiden Duterte sering melakukan pelanggaran pidana, seperti pemerasan, pembakaran, rudapaksa, dan pembunuhan. Karena itu, dalam pidatonya di kota Cagayan de Oro selama
pertemuan bersama gugus tugas nasional dan regional melawan komunisme, Duterte memerintahkan kepada pasukan keamanan untuk menembak dan membunuh orang-orang yang disebut Duterte sebagai
"bandit" tanpa ideologi itu. Melansir dari laman _Manila Times, _para pemberontak komunis terus berusaha menggulingkan pemerintah sehingga "itulah mengapa saya memberitahu
militer dan polisi bahwa jika musuh memegang senjata saat bertemu, bunuh mereka. Habisi mereka segera," katanya. Presiden Duterte juga menekankan bahwa jika kelompok komunis ingin
melawan pemerintah, selain tentara dan polisi, pemerintah memiliki "banyak tank" untuk menaklukkan mereka. 2. LUPAKAN HAK ASASI MANUSIA > _BACA JUGA: BILA VAKSIN RUSIA
DINYATAKAN AMAN, DUTERTE SIAP IMUNISASI MEI 2021_ Dalam pertemuan itu, Presiden Duterte berbicara dengan bahasa Visayan, bahasa asli yang biasa digunakan di selatan pulau Mindanau. Dia
menekankan bahwa keputusan yang ia berikan tanpa keraguan sedikitpun. Melansir dari laman _Al Jazeera, _"Lupakan hak asasi manusia. Saya bersedia masuk penjara, itu tidak masalah,"
kata Duterte. Selain itu ia juga menginginkan bahwa jika pemberontak komunis terbunuh, "pastikan untuk mengembalikan tubuh mereka ke keluarga masing-masing." Pemimpin kelompok
pemberontak komunis Filipina saat ini bernama Jose Maria Sison dan sekarang mengasingkan diri di Belanda. Kelompok komunis Filipina telah melawan pemerintah selama puluhan tahun sejak 1968.
Perlawanan itu disebut sebagai perlawanan terlama kelompok Maois. Konflik diyakini telah merenggut sekitar 30.000 jiwa. Lanjutkan membaca artikel di bawah EDITOR’S PICKS Beberapa presiden
Filipina telah gagal mencapai kesepakatan damai dengan mereka. Ketika mencalonkan diri sebagai presiden, Duterte berjanji untuk mengakhiri pemberontakan melalui pembicaraan damai. Dalam
kesempatan pidatonya di kota Cagayan de Oro itu, selain presiden memerintahkan 'menembak dan membunuh', dia mendesak para pemberontak untuk meletakkan senjata. Dia juga berjanji
untuk memberi mereka mata pencaharian dan perlindungan. 3. SEDIKITNYA SEMBILAN AKTIVIS MENINGGAL USAI PIDATO DUTERTE Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Wisnu
Widiantoro) Dua hari setelah pidato Presiden Duterte, setidaknya tercatat ada sembilan orang yang dianggap aktivis hak-hak asasi manusia meninggal dunia. Polisi melakukan penggerebekan di
empat provinsi selatan Filipina. Seorang juru bicara polisi yang bernama Letnan Kolonel Chitadel Gaoiran, melansir dari laman _Straits Times_, membenarkan bahwa enam orang tewas di provinsi
Rizal, dua di provinsi Batangas dan satu di provinsi Cavite. Selain itu, polisi juga menangkap enam orang, dan masih mencari sembilan tersangka lainnya. Rangkaian penggerebekan itu dilakukan
pada hari Minggu (7/3). Kelompok pengawas hak asasi manusia, Karapatan, menyebut insiden itu sebagai "Minggu Berdarah." Melansir dari situs resminya, Sekretaris Jenderal
Karapatan Cristina Palabay, menyebut penangkapan dan pembunuhan para pemimpin buruh, penyelenggara, aktivis, dan pekerja hak asasi manusia, dilandasi dengan surat perintah palsu. Selain itu,
Palabay juga menilai "rezim Duterte sekarang melepaskan kengerian yang tak terkendali dari fasisme terhadap perbedaan pendapat di wilayah Tagalog Selatan menggunakan taktik
kotor," katanya. Kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) menyuarakan keprihatinan tentang penggerebekan mematikan tersebut. Menurut HRW operasi penggerebekan tampaknya
merupakan "rencana terkoordinasi" oleh pihak berwenang. Phil Robertson, wakil direktur HRW Asia menjelaskan "insiden ini jelas merupakan bagian dari kampanye kontra
pemberontakan pemerintah yang semakin brutal yang bertujuan untuk menghilangkan" pemberontakan komunis. Para aktivis hak-hal sipil sering melancarkan kritikan terhadap kebijakan perang
melawan narkoba yang dilakukan oleh Duterte. Sejak Duterte menjadi presiden pada 2016, setidaknya ada sekitar 300 aktivis dan 55 pengacara dan hakim yang dicap sebagai simpatisan komunis
meninggal dunia. Presiden Rodrigo Duterte adalah salah satu pemimpin dunia yang kontroversial. Ketika ia berperang melawan narkoba di negaranya, sebuah laporan menyebutkan setidaknya ada
sekitar 8.000 orang meninggal dunia. Duterte menghadapi tuduhan "kejahatan kemanusiaan" di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional akibat perang narkoba yang ia dengungkan. _BACA
JUGA: DUTERTE TAK IZINKAN SISWA SEKOLAH HINGGA VAKSIN COVID-19 DITEMUKAN_ IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah
sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.