Play all audios:
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, baru-baru ini yang menginginkan Indonesia memiliki senjata nuklir sangat mengejutkan. Bukan hanya
karena Indonesia adalah negara yang secara konsisten mendorong perlucutan senjata nuklir, tetapi juga karena mayoritas bangsa-bangsa di dunia telah memutuskan untuk melarang senjata nuklir
dengan mengadopsi Perjanjian tentang Pelarangan Senjata Nuklir (_Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons, TPNW_). Luhut bisa jadi hanya bercanda, tapi pernyataannya mencerminkan adanya
kepercayaan banyak negara pada mitos-mitos terkait ambisi mereka untuk memiliki, mempertahankan, ataupun mengembangkan senjata nuklir. Mitos-mitos ini telah menopang keberadaan senjata
nuklir dan menjadikan senjata nuklir sebagai satu-satunya senjata pemusnah massal yang masih memiliki status legal hingga saat ini. Berikut mitos-mitos salah tersebut. 1. NUKLIR ADALAH
INSTRUMEN PERDAMAIAN YANG EFEKTIF Senjata nuklir sering diklaim sebagai senjata perdamaian. Dua alasan sering dikaitkan dengan klaim ini. Senjata nuklir bukan hanya diklaim berhasil
menghentikan Perang Dunia II, tetapi juga diyakini telah berhasil menjaga perdamaian dunia sejak senjata tersebut digunakan pada tahun 1945. Klaim bahwa senjata nuklir berhasil menghentikan
Perang Dunia II didasarkan pada argumen pasca perang pemerintah Amerika Serikat (AS) bahwa Jepang tidak akan segera menyerah jika senjata nuklir tidak digunakan dan bahwa mengalahkan Jepang
melalui invasi akan membawa korban yang lebih banyak. Pidato penyerahan Jepang oleh Kaisar Hirohito yang menyebutkan bahwa penggunaan “senjata baru dan sangat kejam” merupakan salah satu
faktor yang mendorong Jepang untuk menyerah memperkuat klaim mengenai peran senjata nuklir dalam penghentian perang. Tetapi, klaim tersebut tidak memiliki basis yang sangat kuat dan lebih
merupakan respons terhadap kritik atas penggunaan senjata tersebut sebagai sebuah keputusan yang tidak perlu dengan implikasi etis yang luar biasa. Banyak sejarawan berpendapat bahwa faktor
terpenting yang mendorong penyerahan adalah masuknya Uni Soviet ke dalam kancah perang dan melawan Jepang, dan bukan pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki. Yang tidak kalah kontroversial
adalah klaim bahwa senjata nuklir telah membawa perdamaian dengan mencegah perang besar di dunia. Klaim ini lebih didasarkan pada asumsi daripada data empiris. Senjata nuklir diyakini
memiliki kemampuan _deterrence_, yaitu kemampuan menghalangi sebuah negara untuk melakukan serangan karena kekhawatiran akan dibalas lawan dengan serangan yang lebih besar dari kekuatan yang
dimilikinya, atau karena kekhawatiran bahwa serangan balasan lawan akan bisa membawa kehancuran bersama. Dengan kemampuan _deterrence_ ini, senjata nuklir diyakini berperan penting dalam
mengurangi secara drastis dorongan negara-negara yang memiliki senjata nuklir untuk berperang. Kenneth Waltz, salah satu ilmuwan hubungan internasional terkemuka asal AS, adalah salah satu
tokoh yang sangat meyakini peran senjata nuklir dalam mengurangi kemungkinan terjadinya perang. Bahwa senjata nuklir tidak pernah digunakan setelah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki bukan
berarti dorongan untuk menggunakan senjata nuklir hilang. Dalam kurun waktu 50 tahun sejak tahun 1945, terdapat 19 insiden yang menempatkan dunia di bawah bayang-bayang perang nuklir.
Saling ancam antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un untuk menggunakan senjata nuklir menunjukkan bahwa senjata nuklir tetap menjadi pilihan yang terbuka untuk
digunakan. Pilihan untuk menggunakan senjata nuklir ini juga ditunjukkan misalnya oleh India dan Pakistan yang memang memiliki sejarah konflik yang panjang sejak awal berdirinya Pakistan
terpisah dari India. ------------------------- _ READ MORE: RISIKO PERANG NUKLIR DALAM KONFLIK IRAN-AS DAN PERAN INDONESIA _ ------------------------- 2. SENJATA NUKLIR MENINGKATKAN KEAMANAN
Dengan asumsi bahwa senjata nuklir mengurangi dorongan negara untuk berperang, senjata nuklir juga diyakini berperan penting dalam menjaga keamanan dunia. Oleh karenanya, senjata nuklir
masih menjadi bagian penting dari strategi pertahanan negara-negara pemilik senjata nuklir. Tapi keberadaan senjata nuklir justru semakin menimbulkan rasa tidak aman bagi umat manusia.
Senjata nuklir tidak memiliki makna sebagai strategi militer. Berbeda dengan senjata taktis yang bisa dikontrol penggunaannya dalam melumpuhkan musuh, dampak bom nuklir tidak bisa
dikendalikan oleh siapapun, termasuk penggunanya. Dampak dari penggunaan senjata nuklir tidak hanya terbatas pada negara-negara yang berperang, melainkan bagi seluruh dunia. Senjata nuklir
adalah ancaman eksistensial kemanusiaan. Kemungkinan meningkatnya jumlah dan penggunaan senjata nuklir baik sengaja maupun tidak sengaja akan tetap menempatkan dunia dalam ancaman dan
menghantui umat manusia. Dampak kemanusiaan senjata nuklir jelas terlihat dari dampak ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki serta melalui uji coba-uji coba senjata nuklir. Survei yang
dilakukan oleh Komite Internasional Palang Merah (_International Committee of the Red Cross_, ICRC) terhadap 16.000 orang dari generasi milenial di 16 negara di dunia secara jelas
menunjukkan kekhawatiran mereka akan perang nuklir. Bahkan, lebih dari 50% responden yakin bahwa perang nuklir akan terjadi dalam kurun waktu satu dasawarsa ke depan. 3. SENJATA NUKLIR AMAN
DI TANGAN YANG TEPAT Sikap masyarakat internasional yang cenderung permisif terhadap lima negara pemilik senjata nuklir (_nuclear weapons states_) di satu sisi, dan sikap keras terhadap
negara-negara yang dianggap melanggar Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (_Nuclear Non-Proliferation Treaty_, NPT) di sisi lain, mencerminkan asumsi bahwa pembatasan pemilikan senjata nuklir
hanya pada sekelompok kecil negara yang tepat (yang kebetulan adalah negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB) menjadikan keberadaan senjata nuklir aman. Negara-negara ini diasumsikan
memiliki kemampuan rasional untuk tidak secara sembarangan menggunakan senjata tersebut. Dengan dampak kemanusiaan yang ditimbulkannya, nuklir bukanlah senjata melainkan ancaman. Karena itu,
tidak ada siapapun yang tepat memilikinya. Pandangan ini tercermin dalam pernyataan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, yang mendorong penghapusan senjata pemusnah massal tersebut.
Beatrice Fihn, direktur eksekutif _International Campaign to Abolish Nuclear Weapons_ (ICAN), dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Perdamaian untuk gerakan tersebut tahun 2017 secara jelas
mengingatkan bahwa perang nuklir bisa terjadi hanya karena seorang pemimpin meledak emosinya. 4. SENJATA NUKLIR MEMBERIKAN PRESTISE Bagi kelima negara pemilik senjata nuklir–AS, Rusia,
Prancis, Inggris dan Cina–kepemilikan ini adalah sebuah privilese. Status kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara tersebut ditopang oleh rezim nuklir internasional dalam Perjanjian
Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Perjanjian ini dianggap menghasilkan apartheid nuklir, yakni memberikan hak secara eksklusif kepada lima negara itu untuk memiliki senjata nuklir dan melarang
negara-negara lain untuk memiliki senjata nuklir. Karakter apartheid rezim nuklir internasional ini yang antara lain mendasari keinginan beberapa negara untuk bisa masuk ke dalam ‘_nuclear
club_’. Negara-negara ini meyakini bahwa kepemilikan senjata nuklir akan membantu mereka menunjukkan kekuatan dan pengaruhnya dalam hubungan internasional. Pengalaman negara-negara yang
berusaha mengembangkan senjata nuklir menunjukkan bahwa negara-negara tersebut bukan hanya gagal meningkatkan status internasionalnya, namun justru membuat mereka terpuruk karena respons
internasional yang sangat keras seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara. ------------------------- _ READ MORE: KONFLIK PANAS AS-IRAN DAN DAMPAKNYA BAGI INDONESIA _
------------------------- INDONESIA DAN SENJATA NUKLIR Bagi Indonesia–yang telah secara konsisten mendukung perlucutan senjata nuklir–mengembangkan dan memiliki senjata nuklir jelas bukan
pilihan yang tepat. Indonesia telah mengikatkan diri pada berbagai perjanjian internasional seperti NPT, Zona Bebas Nuklir Asia Tenggara (_Southeast Asian Nuclear Free Zone_, SEANFZ), dan
Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (_Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty_, CTBT) yang tidak memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan atau memiliki senjata nuklir. Di
samping itu, Indonesia juga pendukung aktif Perjanjian tentang Pelarangan Senjata Nuklir. Bercermin dari pengalaman Iran dan Korea Utara, mengembangkan senjata nuklir bukan hanya tidak mampu
meningkatkan pengaruh internasional, tetapi justru bisa membuat Indonesia dimusuhi masyarakat internasional. _Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini._
------------------------- Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.