Play all audios:
_Artikel ini untuk memperingati Hari Polio Sedunia, 24 Oktober._ Temuan kasus polio di negara-negara yang telah dinyatakan bebas polio, seperti Amerika Serikat pada Juli 2022 dan Inggris
pada Juni lalu, menandakan bahwa polio masih bisa mewabah kembali. Di Papua Nugini, negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia dan dinyatakan bebas polio sejak 2000, mengalami
wabah _circulated-Vaccine Derived Poliovirus type 1_ (cVDPV) tipe 1 sebanyak 21 kasus pada Juni 2018. Ini berarti, 18 tahun setelah dinyatakan bebas polio, kasus polio kembali ditemukan di
negara itu. Wabah cVDPV merupakan penyakit poliomyelitis – disebabkan oleh virus turunan vaksin polio yang mengalami mutasi. Pada kasus tersebut, yang bermutasi adalah virus polio vaksin
tipe 1. Wabah yang terjadi di Papua Nugini itu membuat pertemuan Komite Kegawatdaruratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Agustus 2018, menyatakan polio berisiko menyebar secara
internasional (_international spread of poliovirus_). Penyebaran ini turut digolongkan menjadi Darurat Kesehatan yang Menjadi Perhatian International (PHEIC) di bawah the International
Health Regulations (IHR). Selain Papua Nugini, kala itu polio juga ditemukan di Afghanistan, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Pakistan dan Somalia. Walaupun belum ada lagi kasus baru di
Papua Nugini, Indonesia harus tetap waspada terhadap kemungkinan masuknya cVDPV ke tanah air. Pemerintah harus mempersiapkan kewaspadaan, terutama di daerah Papua, yang berbatasan darat
dengan Papua Nugini. PARAMETER YANG HARUS DIPERHITUNGKAN DAN DIEVALUASI Program eradikasi polio di dunia mulai dicanangkan sejak 1988. Sejak saat itu poliomyelitis berkurang hingga 98%.
Virus polio dianggap dapat dibasmi di dunia setelah virus cacar (smallpox) baru dieradikasi pada 1972. Surveilans lumpuh layu akut (_acute flaccid paralysis, AFP_) di Indonesia dimulai sejak
1995. Sedangkan wabah polio di Indonesia terakhir ditemukan pada 2005 dan merupakan kasus dari luar negeri (_imported case_). WHO menyatakan Indonesia bebas polio sejak 2014. Untuk mendapat
status bebas polio, suatu negara harus dinyatakan bebas virus polio liar selama 3 tahun berturut-turut. Namun pada 2019, Kementerian Kesehatan menemukan tiga kasus polio di Yahukimo, Papua,
satu di antaranya lumpuh layu. Untuk mempertahankan status “bebas polio”, ada 4 strategi yang harus dilakukan Indonesia: * mendeteksi dan memutus penyebaran virus polio * menguatkan sistem
imunisasi dan penarikan vaksin polio oral dengan mengganti vaksin polio suntik. Vaksin polio oral berpotensi memunculkan virus polio kembali, karena vaksin tersebut memakai virus aktif yang
dilemahkan. * pengamanan virus polio di laboratorium agar tidak lepas ke lingkungan atau segera dimusnahkan. * melakukan _polio’s legacy_, upaya yang menjamin agar dunia bebas polio saat ini
dan masa yang akan datang secara permanen. Cara ini meliputi kegiatan imunisasi dengan IPV (_inactivated polio vaccine_), pencekalan virus polio, surveilans, serta memperbaiki infrastruktur
kesehatan untuk mencegah polio. TINGKATKAN LEVEL IMUNISASI DAN DETEKSI Polio merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Karena itu, pemerintah harus meningkatkan cakupan
imunisasi di wilayah Indonesia, terutama daerah perbatasan dengan Papua Nugini. Bagaimana status imunisasi di kedua negara baik Indonesia (Papua) maupun Papua Nugini? Sebelum terjadi wabah
cVDPV, Provinsi Morobe di Papua Nugini – sebagai provinsi tempat kasus pertama dilaporkan – hanya mempunyai cakupan imunisasi sebesar 61%. Bagaimana dengan Papua, terutama kabupaten yang
berbatasan langsung dengan Papua Nugini? Berdasarkan data imunisasi dari Kementerian Kesehatan, per November 2018, hanya Kota Jayapura sebagai satu dari enam kabupaten perbatasan langsung
Papua Nugini yang mempunyai cakupan imunisasi tinggi. Selebihnya, cakupan vaksinasi untuk 5 kabupaten perbatasan lainnya yaitu Keerom, Pegunungan Bintang, Merauke, Supiori, Boven Digoel
masih di bawah 80%. Dari sisi deteksi, diketahui bahwa indikator _Non-AFP rate_ (angka kasus lumpuh layu akut yang diduga kasus polio sampai dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan
kasus polio) untuk Provinsi Papua pada 2017 hanya mencapai 1,8. Hal ini berarti dari 100.000 penduduk, hanya ada 1,8 kasus AFP yang dideteksi. Sedangkan untuk Indonesia, indikator non-AFP
rate per 100.000 penduduk secara nasional yang diharapkan adalah 2. Lalu jika sudah terdeteksi, apakah spesimen AFP yang dikirim sudah adekuat? Ternyata pada 2017, Papua hanya mengirimkan
55,5% spesimen yang adekuat. Sedangkan per November 2018, spesimen adekuat yang dikirim meningkat menjadi 85%. Patut diketahui apabila spesimen yang dikirim tidak adekuat, maka kesempatan
untuk mendapatkan virus polio yang terdeteksi dalam spesimen semakin menipis. LALU LINTAS DI DAERAH PERBATASAN Salah satu rantai penyebaran polio terjadi melalui lalu lintas orang di
perbatasan atau pintu masuk negara. Dari sisi geografis, Indonesia dan Papua Nugini berbatasan langsung di Provinsi Papua. Ada enam kabupaten dan kota, tersebar di 26 distrik, yang
berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Salah satu perbatasan yang cukup dikenal karena mobilitas penduduk dari Papua ke Papua Nugini dan sebaliknya adalah pos lintas batas Negara (PLBN)
Skouw. PLBN Skouw terletak di Distrik Muaratami, Kota Jayapura, Papua, dengan jarak sekitar 60 km dari Kota Jayapura dengan waktu tempuh sekitar 90 menit. Di area PLBN Skouw kini dibangun
400 kios pasar, wisma Indonesia, rumah para pegawai kantor perbatasan, lengkap dengan infrastruktur permukiman. Di perbatasan ini, aktivitas penduduk Papua Nugini dan Papua dapat terlihat
karena adanya kegiatan jual-beli. Penduduk Papua Nugini juga tidak jarang membeli baran-barang sampai ke Jayapura. Mereka biasanya datang pada hari-hari tertentu seperti Selasa, Kamis, dan
Sabtu untuk berbelanja. Tempat lainnya yang perlu diwaspadai adalah perbatasan-perbatasan di kabupaten lain yang kemungkinan dapat dilalui dengan mudah oleh penduduk Papua Nugini. Pada
kenyataannya, banyak pos penjagaan perbatasan yang tidak ada penjaganya. Di tempat tersebut, penduduk Papua Nugini dapat dengan bebas berjualan di Papua. FOKUSKAN KE PAPUA Apakah Indonesia
benar-benar siap menghadapi ancaman yang ada di depan mata: importasi polio dari negara tetangga? Pemerintah Indonesia, terutama Provinsi Papua, harus benar-benar fokus mempersiapkan diri
menghadapi ancaman penyebaran penyakit tersebut. Pemerintah pusat telah melakukan upaya seperti imunisasi tambahan polio khusus untuk Provinsi Papua saat kampanye imunisasi campak rubela
(MR) di luar Pulau Jawa setiap tahunnya. Selain itu, pemeriksaan polio di tingkat lingkungan juga dilakukan untuk melihat sirkulasi virus polio liar, serta peningkatan target _non-AFP rate_
sebesar 3 per 100.000 penduduk. Beberapa laboratorium yang melakukan pemeriksaan polio lingkungan adalah Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof. Dr.Sri Oemijati (eks Badan
Litbangkes), Laboratorium Biofarma dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya. Kementerian Kesehatan perlu mengupayakan pengelolaan spesimen yang baik dan adekuat untuk diperiksa di lab
polio nasional. Ini penting agar pemerintah bisa mendeteksi kasus di masyarakat dengan akurat. Pemerintah harus mengupayakan persyarataan sertifikasi vaksinasi internasional untuk virus
polio bagi semua pelintas di semua perbatasan untuk semua usia. Di daerah perbatasan Papua, pemerintah harus meningkatkan cakupan imunisasi polio 4 (anak usia empat bulan). Pemerintah harus
terus mengedukasi penduduk setempat agar dapat diimunisasi untuk mencegah wabah polio ke depan.