Kebijakan soal pencari suaka tak ideal—tapi satu langkah perbaikan

Kebijakan soal pencari suaka tak ideal—tapi satu langkah perbaikan

Play all audios:

Loading...

Pemerintah Indonesia perlu memperkuat peraturan presiden tentang pengungsi dari luar negeri menjadi undang-undang. Definisi pengungsi yang digunakan oleh peraturan tersebut juga perlu


diperluas karena tidak mengikutsertakan mereka yang mengungsi dari bencana, dan hanya mencakup mereka yang lari dari persekusi. Pada Desember 2016 President Joko Widodo mengisi kekosongan


hukum soal pengungsi luar negeri dengan menerbitkan sebuah peraturan yang memastikan pencari suaka dan pengungsi tidak diusir atau dikembalikan ke negara asalnya tanpa alasan. Beberapa


peneliti mengkritik peraturan tersebut karena tidak memberikan perlindungan menyeluruh. Contohnya, Indonesia tetap tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 yang menetapkan hak-hak


pengungsi dan kewajiban-kewajiban pemerintah untuk melindungi mereka. Peraturan tersebut juga tidak menyediakan cara agar pencari suaka dan pengungsi di Indonesia-sekitar 13.000 yang


kebanyakan dari Afghanistan dan Myanmar-dapat dilindungi dan menetap di Indonesia melalui proses integrasi. Meski demikian, peraturan ini menunjukkan perubahan kebijakan Indonesia dari


pendekatan keamanan yang tidak memperhatikan keselamatan pengungsi ke sebuah pendekatan yang menghormati kewajiban untuk tidak mengusir atau mengembalikan pengungsi. Ini dikenal juga sebagai


prinsip _non-refoulement_ hukum kebiasaan internasional (_customary international law_). MENAFIKAN HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL Meski Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi


1951, Indonesia tetap harus menghormati prinsip _non-refoulement_. Prinsip ini dianggap sebagai sebuah hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara, termasuk yang tidak


menandatangani konvensi pengungsi. Artinya, negara-negara lain menaatinya sebagai hukum, meski tidak secara resmi. Melanggar hukum kebiasaan internasional akan mendatangkan kritik dan


kecaman dari negara-negara lain. Sekarang pun, komunitas internasional dan kelompok-kelompok masyarakat sipil menekan pemerintah Indonesia untuk menandatangani Konvensi Pengungsi 1951.


Sebelum keluarnya Peraturan Presiden No. 125/2016 soal pengungsi, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi bergantung pada prosedur operasi standar mereka sendiri.


Direktorat ini adalah badan yang bertanggung jawab dalam penanganan isu pengungsi. Tanpa adanya regulasi yang mengatur bagaimana mengelola dan memperlakukan pengungsi dan pencari suaka,


petugas biasanya mengabaikan permintaan pengungsi atau menahan mereka yang tidak memiliki kartu identitas pengungsi dari UNHCR. Kantor imigrasi juga tidak membedakan antara pencari suaka,


pengungsi, atau mereka yang tanpa kewarganegaraan. Tanpa kartu identitas pengungsi dari UNHCR, pengungsi dicap imigran gelap. Untuk mendapat kartu identitas pengungsi ini, pencari suaka dan


pengungsi harus melalui proses penentuan status pengungsi (_Refugee Status Determination_) yang sangat lama. Proses ini sangat melelahkan, waktu menunggunya saja dari pendaftaran hingga


wawancara pertama berkisar antara delapan hingga 20 bulan. Krisis Laut Andaman, di 2015, ketika ribuan orang Rohingya dan Bangladesh terdampar di laut di dekat Aceh contoh nyata kurangnya


perhatian pemerintah Indonesia, saat itu, terhadap isu pengungsi. Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Thailand awalnya enggan menyelamatkan mereka. Hanya sesudah nelayan lokal bergerak untuk


menyelamatkan mereka, Indonesia dan Malaysia menyediakan penampungan. Tahun berikutnya, Indonesia dilaporkan menarik perahu migran yang terdampar di Aceh kembali ke laut. Dan petugas


imigrasi, bagaimana pun, akan menangkap pengungsi yang memasuki wilayah Indoensia. Namun, Kementerian Luar Negeri menunjukkan pendekatan yang berbeda. Paham mengenai hukum dan perjanjian


internasional, Kementerian Luar Negeri lebih aktif dalam merespons isu pengungsi. Contohnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengirim bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya. Ia


mengunjungi dua penampungan pengungsi Rohingya di Ukhia dan Cox’s Bazar di Bangladesh. PERUBAHAN KEBIJAKAN SOAL PENGUNGSI Peraturan presiden yang Presiden Joko Widodo keluarkan menunjukkan


kemajuan Indonesia dalam menaati hukum internasional soal pengungsi. Dengan peraturan ini, ada arahan jelas dari pemimpin negara mengenai bagaimana memperlakukan pengungsi. Artinya persepsi


dan perilaku yang berbeda di antara kementerian dapat dihindari. Melalui peraturan presiden ini, Indonesia telah memasukkan prinsip _non-refoulement_ ke dalam kebijakan barunya. Peraturan


ini juga menjadikan Indonesia perintis dalam pembuatan kebijakan mengenai pengungsi di antara negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia, Malaysia, dan Thailand adalah negara-negara transit


utama di Asia Tenggara. Hingga saat ini, hanya Indonesia yang telah mengeluarkan peraturan mengenai pengungsi. Dengan ditetapkannya peraturan ini, Indonesia juga perlu mempromosikan


nilai-nilai yang dikandungnya, di wilayah Asia Tenggara. Melalui diplomasi dan negosiasi, ini bisa menjadi langkah awal untuk mewujudkan kerangka kebijakan mengenai pengungsi di Asia


Tenggara dan terutama di ASEAN.