Paradoks kemacetan perkotaan dan solusi untuk mengatasinya

Paradoks kemacetan perkotaan dan solusi untuk mengatasinya

Play all audios:

Loading...

Daya tarik perkotaan sebagai penyedia berbagai fasilitas sosial, bisnis, dan budaya yang membuka peluang ekonomi melahirkan urbanisasi. Hal ini telah terjadi di berbagai negara, khususnya


negara berkembang yang membutuhkan tenaga kerja dan memiliki target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun tidak semua negara siap menanggapi isu urbanisasi ini. Urbanisasi akan meningkat


seiring dengan kebutuhan akan perjalanan dan dengan ketidaksiapan fasilitas transportasi, kemacetan umumnya terjadi. Kemacetan lalu lintas merupakan permasalahan yang sudah lama terjadi di


kota-kota besar Indonesia. Tidak hanya Jakarta, laporan Bank Dunia tahun ini menyebut kota-kota besar lainnya seperti Padang, Sumatra Barat; Malang, Jawa Timur; Pontianak, Kalimantan Barat;


Bengkulu; dan Yogyakarta termasuk ke dalam kota dengan rasio waktu kemacetan tertinggi. Kemacetan menghabiskan banyak waktu keseharian masyarakat. Ambil contoh di ibu kota Jakarta. Setiap


tahunnya masyarakat Jakarta menghabiskan lebih dari 400 jam di jalan. Tidak berbeda dengan Jakarta, di kota lain seperti Padang dan Yogyakarta, seperempat waktu perjalanan mereka habis di


tengah kemacetan. Salah satu penjelasan mengapa kemacetan terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, adalah karena fenomena urbanisasi atau perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Untuk


mengatasinya diperlukan upaya dari pemerintah dan dukungan dari masyarakat. KOMPLEKSITAS DAN KEMACETAN KOTA BESAR DI INDONESIA Hubungan antara pola ruang antar kawasan, urbanisasi,


motorisasi, dan infrastruktur jalan, serta angkutan umum merupakan penyebab terjadinya kemacetan di daerah perkotaan di Indonesia. Total kerugian yang diciptakan oleh kemacetan di 28 kota di


Indonesia mencapai Rp56 triliun. Jakarta menanggung sekitar Rp36 triliun dari jumlah itu. Tidak hanya kerugian ekonomi, dampak dari kemacetan terbukti berpengaruh terhadap meningkatnya


stres, penurunan kesehatan masyarakat, dan meningkatnya polusi udara Daerah perkotaan menyediakan fasilitas sosial, bisnis, dan budaya serta peluang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan


sosial bagi masyarakat. Urbanisasi berkembang sebagai usaha mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan mendorong meningkatnya kebutuhan akan perjalanan sehingga perlu diakomodasi


dengan penyediaan infrastruktur transportasi. Jika tidak berhasil diakomodasi, akan timbul kemacetan. Oleh karena itu, urbanisasi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kemacetan. Hal


ini bisa kita lihat terjadi di Jakarta. kegiatan ekonomi Jakarta yang bergantung pada daerah penyangganya, yaitu Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang, telah menciptakan arus lalu lintas yang


signifikan dan kemacetan di dalam Jakarta. Hal ini diperburuk dengan semakin banyak orang yang menggunakan kendaraan bermotor dan belum tersedianya angkutan umum massal yang handal antar


kawasan. Perilaku individu dalam memenuhi kebutuhan perjalanannya ikut andil dalam menyebabkan kemacetan. Tuntutan kesesuaian dengan gaya hidup, dukungan terhadap aktivitas pekerjaan, serta


kualitas layanan transportasi publik yang kurang memadai menjadi pendorong orang menggunakan kendaraan pribadi. SOLUSI DARI PEMERINTAH DAN TANTANGANNYA Pemerintah bukan tanpa usaha dengan


meningkatkan investasi terhadap transportasi perkotaan. Bahkan di Jakarta, sejak awal 2010 hingga saat ini, pemerintah terus meningkatkan jaringan kereta _commuter line_ Jakarta, Bogor,


Depok, Tangerang, dan Bekasi yang saat ini telah mengangkut lebih dari 300 juta penumpang setiap tahunnya atau naik hampir 50% dibanding jumlah penumpang tahun 2010 yang mencapai 203 juta


orang. Pada akhir 2018, Moda Raya Terpadu (MRT) hadir di DKI Jakarta yang kemudian akan diikuti dengan fase selanjutnya. Proyek LRT yang sedang berlangsung juga merupakan bentuk usaha untuk


menambah aksesibilitas di kawasan Jabodetabek. Usaha serupa juga dilakukan di kota-kota lain seperti Surabaya, Jawa Timur; Medan, Sumatra Utara; dan Bandung, Jawa Barat. Pemerintah terus


bersiap untuk menyediakan angkutan massal berbasis rel di kota-kota ini. Selain angkutan berbasis rel, sejak 2013 pemerintah telah mengembangkan angkutan bus dengan sistem _semi–bus rapid


transit_, di lebih dari 20 kota di Indonesia. Hal ini juga bukan tanpa tantangan. Misalnya, kurangnya daya tarik masyarakat terhadap transportasi publik dan mudahnya mendapatkan kendaraan


pribadi menjadi masalah dalam pengoperasian angkutan ini. Solo dan Semarang di Jawa Tengah yang telah terbukti berhasil menjalankan sistem angkutan ini secara berkelanjutan.


Kebijakan-kebijakan jangka pendek dan berkelanjutan juga diambil untuk mengatasi kemacetan. Kebijakan ganjil-genap di Jakarta, misalnya. Kebijakan ini membatasi kendaraan bermotor


berdasarkan pelat nomor ganjil dan genap. Pro dan kontra terjadi di masyarakat, terutama bagi para pengguna yang merasa hak mobilisasinya dibatasi. Pemerintah telah berusaha untuk mengatasi


masalah kemacetan. Namun, upaya pemerintah tidak akan cukup tanpa dukungan dari masyarakat. MULAI DARI HAL KECIL Kesadaran masyarakat untuk berkontribusi mengurangi kemacetan adalah poin


penting dalam mengurangi kemacetan. Langkah kecil seseorang bisa secara signifikan berdampak luas dan mempengaruhi individu lainnya. Faktanya, jika pemerintah sudah menyiapkan segala


fasilitas, semua kembali lagi kepada masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat pelaku transportasi menjadi kunci penting. Secara spesifik, berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh


masyarakat untuk membantu mengurangi kemacetan: * Mengurangi jumlah atau jarak perjalanan: hal ini dapat dilakukan dengan dengan membuat aktivitas lebih dekat dari lokasi tempat tinggal,


atau mengganti aktivitas dengan menggunakan teknologi komunikasi seperti telepon seluler pintar. Dengan hal ini diharapkan jumlah perjalanan dan jarak perjalanan akan berkurang sehingga


kemacetan dan emisi transportasi akan berkurang. * Menggunakan angkutan umum: menggunakan angkutan umum seperti bus atau kereta akan mengurangi penggunaan angkutan pribadi, sehingga


perpindahan emisi oleh angkutan pribadi tergantikan oleh angkutan umum yang lebih ramah lingkungan. Keberhasilan implementasi dari pembangunan infrastruktur transportasi dan kebijakan


perihal pengelolaan permintaan transportasi bergantung pada semua pihak, baik penyedia layanan yang memastikan kualitas pelayanan, maupun masyarakat sebagai pengguna layanan. Perlu diingat


bahwa target untuk mencapai kota yang layak dengan transportasi berkelanjutan perlu dipahami dan diupayakan oleh semua orang. _Franklin Ronaldo dan Muhamad Rizki berkontribusi dalam


penulisan artikel ini._