Pengelolaan gambut berkelanjutan dan masalah akut kesenjangan ilmiah

Pengelolaan gambut berkelanjutan dan masalah akut kesenjangan ilmiah

Play all audios:

Loading...

Para peneliti gambut baru-baru ini berkumpul untuk menelaah efektivitas penerapan peraturan pemerintah terbaru tentang gambut. Kami menemukan beberapa kekurangan pada peraturan tersebut,


salah satunya indikasi bahwa peraturan tersebut kurang berdasarkan kajian ilmiah. Pemerintah Indonesia menyatakan luas lahan gambut yang terbakar pada 2017 jauh menurun dibanding tahun-tahun


sebelumnya. Setelah pengalaman buruk kebakaran begitu luas dua tahun sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan perusahaan swasta membuat sekat kanal, embung, dan sumur bor


di lahan gambut. Setelah kebakaran besar 2015, pemerintah berupaya merestorasi lahan gambut yang bermasalah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 57/2016 untuk merevisi PP 71/2014


mengenai perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Salah satu pasal PP 57 menyatakan ekosistem gambut dengan fungsi budi daya dinyatakan rusak bila muka air tanah lebih dari 40


sentimeter di bawah permukaan gambut pada titik penataan. Pengaturan tinggi muka air tanah (_ground water table_) bertujuan untuk menjaga kelembaban tanah gambut agar tidak mudah terbakar


ketika musim kering. Namun batas kriteria peraturan tersebut yang ditetapkan secara _ad hoc_, kemungkinan keterlibatan atau konsultasi dengan para akademisi terbatas, dan tidak didukung oleh


penelitian dan bukti ilmiah yang memadai. Implementasi peraturan tersebut juga seharusnya memperhatikan keseimbangan sosio-ekonomi masyarakat dan lingkungan sekitar lahan gambut. Menanggapi


peraturan baru tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dan turunannya, para akademisi dan praktisi lahan gambut menggelar _focus group discussion_ di Bogor, 14 Desember 2017,


untuk membahas cara terbaik pengelolaan gambut yang berwawasan lingkungan. Lahan gambut adalah salah satu penyimpan karbon tertinggi di daratan bumi. Indonesia memiliki lahan gambut yang


cukup luas, dengan kisaran data terakhir sekitar 13,2 juta hektar. Sebelum 1990-an, tanah gambut dianggap sebagai lahan marginal, sehingga pengelolaan tidak diperhatikan. Proyek pengembangan


lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah yang diluncurkan pada 1995 berniat untuk mengubah lahan gambut menjadi lahan penanaman padi. Proyek tersebut gagal total, padi tidak bisa


tumbuh dengan baik karena gambut yang dikeringkan berlebihan menjadi rusak. Gambut menjadi kering pada musim kemarau sehingga memicu kebakaran. KESENJANGAN ILMIAH Dengan meningkatnya


kesadaran tentang isu perubahan iklim, emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian, dan kebakaran lahan dan hutan, maka pengelolaan gambut menjadi isu yang kontroversial. Sains dan riset


dapat membantu mengarahkan pengelolaan gambut berkelanjutan. Walau banyak penelitian lahan gambut Indonesia, kebanyakan riset internasional berfokus pada deforestasi, emisi CO2, dan


kebakaran gambut. Masih diperlukan penyempurnaan dan fokus riset untuk menyikapi peraturan baru tersebut. Gambut memiliki dua fungsi utama yaitu pelayanan lingkungan (penyimpan air, karbon,


dan keanekaragaman hayati) dan penghasil komoditas pertanian yang mendukung kehidupan para petani. Untuk itu perlu dijaga keseimbangan antara fungsi konservasi dan pertanian. Pengembangan


riset yang seimbang perlu difokuskan ke usaha pengelolaan gambut yang baik dan rasional, meminimalkan dampak lingkungan, dan pengaturan air sehingga mengurangi risiko kebakaran. Dari diskusi


di Bogor itu, beberapa kesenjangan ilmiah dalam topik pengelolaan gambut dapat kami formulasi sebagai berikut: 1. PEMETAAN GAMBUT Secara nasional lahan gambut telah dipetakan dengan


perkiraan luas sekitar 13,2 juta hektar di Indonesia. Tetapi peta tersebut masih dalam skala kasar 1:250.000. Peta ini tidak dapat dijadikan dasar yang akurat dalam pelaksanaan PP 57. Untuk


keperluan operasional, maka peta dalam skala yang lebih besar, minimal 1:50.000, segera dibuat. Pengembangan peta skala yang besar mesti dilakukan dengan metode yang akurat, ekonomis, dan


cepat. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa gambut mesti dipetakan dengan metode yang menggunakan Lidar, alat laser yang diterbangkan pesawat komersial. Operasional Lidar ini sangat mahal


dan hanya dapat mengukur ketinggian permukaan bumi, tapi belum bisa mendeteksi ketebalan gambut. Oleh karena itu keberadaan gambut perlu diketahui terdahulu. Metode Lidar diunggulkan tanpa


bukti penelitian ilmiah yang kuat. Penelitian dari IPB dan University of Sydney telah mengembangkan metode Open Mapping yang menggunakan pengamatan lapangan dan citra satelit dengan


menggunakan algoritme _machine learning_. Metode dengan biaya yang efisien dan telah dipublikasi dalam jurnal internasional tersebut dapat diperluas penggunaannya ke seluruh Indonesia. 2.


KOMODITAS UNGGULAN DAN DEGRADASI LAHAN Kajian terhadap komoditas strategis, terutama tanaman pangan dan perkebunan, terutama kelapa sawit, telah banyak dilakukan. Dengan peraturan baru yang


membatasi pengembangan kawasan perkebunan sawit, maka kajian terintegrasi lintas disiplin ilmu untuk mengembangkan komoditas unggulan menjadi satu keharusan yang mendesak untuk diterapkan


segera. Misalnya terintegrasinya paludikultur (pertanian di rawa dengan tanaman yang tahan hidup di air) dengan akses pasar perlu dikembangkan lebih lanjut. Dampak lingkungan dari perubahan


dan penggunaan lahan yang terjadi harus dikaji secara keseluruhan. Perubahan penggunaan lahan dengan penurunan muka air tanah dan amblesan atau terjadinya penurunan permukaan tanah sering


disebut sebagai penyebab kerusakan bahkan musnahnya gambut. Penggunaan lahan gambut dianggap meningkatkan emisi karbon di atmosfer yang memicu mudahnya gambut terbakar. Degradasi lahan


gambut adalah proses yang panjang dan tidak sepenuhnya disebabkan oleh penggunaan saat ini. Degradasi lahan telah terjadi setidaknya sejak kebijakan transmigrasi zaman kolonial Belanda, dan


juga sejak 1970 dengan perluasan kawasan Hak Pengusahaan Hutan. 3. PENINGKATAN EMISI DAN BATAS MUKA AIR TANAH Meningkatnya emisi CO2 ke atmosfer dari lahan gambut sering disebut sebagai


dampak dari penggunaan lahan. Tidak dimungkiri telah terjadi oksidasi dari bahan organik dengan aktivitas penggunaan lahan, namun laju emisi CO2 perlu dikaji lebih cermat, terutama akibat


dari: * Amblesan tanah (atsu juga disebut subsiden) sering diinterpretasi sebagai penyebab berkurang bahkan hilangnya gambut dan semua ini berkontribusi terhadap emisi CO2. Proses amblesan


bergantung kepada pemadatan gambut dan kadar air. Amblesan tidak linear dengan waktu, dengan kata lain penurunan terjadi pada awal penggunaan lahan dan lajunya akan menurun dengan waktu. *


Emisi gas rumah kaca neto adalah keseimbangan dari sekuestrasi (penyimpanan) dan dekomposisi (perombakan) bahan organik. Laju emisi berfluktuasi dari pagi ke siang dan malam, dan dari hari


ke hari. Kebanyakan penelitian hanya mengukur laju emisi pada waktu tertentu sebulan sekali. Emisi neto dalam jangka waktu yang lama perlu dipantau dengan jelas. Ketinggian batas muka air


tanah 40 cm telah ditentukan oleh PP 57 dan hal ini dicurigai tanpa didasari penelitian yang saksama sebelumnya. Respons pertumbuhan tanaman dan akar tanaman dengan muka air tanah yang cukup


tinggi tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut dan cermat agar terungkap jelas. Muka air tanah berfluktuasi menurut jumlah hujan dan drainase. Kadar air tanah gambut lebih memberikan


indikasi terhadap kelembaban gambut. Ketika kadar air tanah gambut kritis dikhawatirkan gambut akan kekeringan dan tidak dapat dibasahi lagi. Fenomena ini masih perlu dikaji dengan lebih


jelas dan saksama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indeks Kekeringan yang dihitung dari data curah hujan, ketinggian muka air tanah, dan kondisi air tanah lebih berguna dipantau sebagai


indikator risiko kebakaran hutan. PENDEKATAN DARI BAWAH Pendekatan perbaikan gambut saat ini dilakukan dari atas ke bawah (_top-down_) dengan menerbitkan peraturan baru. Namun pelaksanaan


operasional yang rasional sehingga dapat didukung penuh oleh para pengguna lahan dan akademisi adalah pendekatan dari bawah ke atas (_bottom-up_) yang didukung oleh riset yang baik.


Peraturan baru tersebut sulit diterapkan dan menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat pertanian. Pola pendekatan yang ideal itu adalah: * Pengelolaan air melalui sistem drainase, baik


untuk memenuhi kebutuhan air untuk tanah maupun tanaman, terutama pada musim kemarau. * Mempertahankan muka air tanah tidak lebih dalam dari -80 cm diukur dari permukaan gambut; lapisan


gambut di atas muka air harus selalu dipertahankan pada kondisi lembap dan hidrofilik (dapat mudah dibasahi). Pemantauan kekeringan cuaca dan kerentanan kebakaran dengan menggunakan model


hidrologi dapat membantu prediksi risiko terjadinya kebakaran hutan. * Pengelolaan lahan gambut yang mendukung pertumbuhan tanaman dan stabilitas gambut dengan menerapkan _best management


practice_ yakni praktik pengelolaan perkebunan yang tidak merusak gambut. Praktik diwujudkan dengan penataan air, pemupukan yang tepat, tanaman penutup, dan varietas yang teradaptasi.


Pengelolaan seperti ini dibutuhkan agar bisa mencegah terjadinya kebakaran lahan dan hutan pada musim kering. Dari semua itu, penelitian yang lebih komprehensif dibutuhkan, yakni penelitian


melalui penerapan teknologi adaptasi, pengembangan masyarakat, dan kerja sama antara masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Hasilnya bisa diusulkan menjadi program pengembangan lahan gambut


Indonesia ke depan.