Play all audios:
Fenomena pengiriman anak ke pesantren semakin meningkat, bahkan menyentuh masyarakat muslim kelas menengah atas perkotaan, yang sebelumnya tidak melirik pesantren sebagai tempat
menyekolahkan anak. Berdasarkan data Kementerian Agama, terdapat 39.551 pesantren di seluruh Indonesia, dengan total santri sebanyak 4,9 juta per semester ganjil 2023/2024. Sebagian besar
anak yang dikirim ke pesantren berusia 12-18 tahun, dengan peningkatan tren mengirim anak-anak usia di bawah 12 tahun. Pesantren anak usia dini (usia pra-SMP) mulai ramai dan dinormalisasi
bersamaan dengan maraknya acara keagamaan di TV yang melibatkan anak-anak seperti Pildacil dan puncaknya Hafiz Indonesia. Alasan yang paling sering digunakan untuk mengirim anak-anak ke
pesantren adalah supaya mereka mendapatkan pendidikan agama sejak dini dan mampu menghafal Alquran. Pada 2018, seorang ustaz terkenal mengundang wartawan saat dia mengirim anak sulungnya
yang berusia 5 tahun ke pesantren. Ia berujar, “Mending sedih hari ini meninggalkan anak belajar agama daripada nanti sudah besar _enggak_ kenal agama, _enggak_ kenal bagaimana berbudi
pekerti dan hormat kepada orangtua.” Secara dasar-dasar logika, kalimat tersebut mengandung dikotomi palsu (bagian dari kesesatan nalar): seolah-olah kalau anak tidak dikirim ke pesantren,
dia tidak akan kenal agama, tidak tahu budi pekerti, dan tidak hormat ke orang tua. Padahal, penelitian kami menemukan bahwa bagi setiap anak, lingkungan paling fungsional untuk tumbuh
kembang mereka adalah keluarga, sebagai inti dari sistem sosial. Terpisah dari orang tua, karena alasan kematian, bencana, perang, keterpaksaan, maupun belajar, meninggalkan bekas trauma
yang mendalam bagi anak. PERAN KELUARGA TAK TERGANTIKAN Pelopor terapi berbasis keluarga dari Amerika Serikat (AS), Virginia Satir, melihat orang tua sebagai sumber cinta utama bagi anak.
Mereka berperan krusial dalam membentuk citra diri, harga diri, dan rasa aman anak-anak. Menurut Virginia, cara anak merespon realitas di luar dirinya sangat dipengaruhi oleh relasinya
dengan orang tua. Bahkan, cara kita berhubungan dengan Tuhan sangat terkait dengan cara kita berhubungan dengan orang tua. Jika orang tua bersikap galak, kita cenderung memersepsi Tuhan
seperti itu, demikian juga sebaliknya. Riset menunjukkan, prestasi anak-anak di pesantren atau sekolah asrama sejenis cenderung meningkat karena lingkungan yang lebih terstruktur dan akses
lebih baik ke sumber daya pendidikan. Dengan demikian, mereka berpotensi mengisi jabatan-jabatan strategis, terutama menjadi pemegang otoritas agama, yang pada gilirannya akan selalu
mendampingi otoritas politik. Namun, anak-anak yang terpisah dari orang tua terlalu dini cenderung merasa kekurangan cinta. Ini seperti yang dikemukakan Heru (42), bukan nama sebenarnya,
salah satu santri yang saya wawancarai untuk penelitian yang sedang saya lakukan (belum dipublikasikan). Heru bercerita bahwa sejak berusia lima tahun, dia tinggal di sebuah pesantren anak
di Gresik, Jawa Timur, yang berjarak 130km dari kampung halamannya. Menurut dia, hal yang paling sulit ditebus dari masa kecil yang dihabiskan di pesantren adalah hilangnya pertalian emosi
(_bonding_) terhadap orang tua. Dia mengaku tidak memiliki keterikatan dengan orang tua sebagaimana yang dirasakan teman-temannya saat bercerita tentang orang tua. Selama ini, dia berusaha
terhubung dengan orang tua supaya tidak disebut anak durhaka. Sebuah penelitian di Alaska, AS, tahun 2005, mengungkap bahwa sekolah asrama berisiko memutus hubungan anak dengan budaya asli
(bahasa, tradisi dan nilai komunitas) setempat. Sekolah jenis ini juga dapat memberikan trauma emosional, perasaan keterasingan, dan isolasi dari komunitas, meskipun sekolah asrama
memberikan keahlian untuk mendapatkan pekerjaan modern, seperti akuntan, sekretaris, atau administrator. Berkaca dari riset di atas, pesantren berpotensi mengasingkan anak dari keluarga.
Demi alasan membuat betah, pesantren biasanya membatasi orang tua untuk membesuk anak, bahkan untuk sekadar menelepon. Selain itu, saat penyambutan santri baru, pernyataan yang sering
disampaikan adalah bahwa setan akan menggoda santri supaya tidak betah atau menggoda orang tua supaya merasa kangen anaknya. Pernyataan yang terus direproduksi ini adalah salah satu contoh
bagaimana anak-anak dijauhkan dari sumber cinta dan hubungan interpersonal mereka. Santri lain yang juga saya wawancarai, Arif (23), bukan nama sebenarnya, bahkan menuturkan: > “Aku
sampai takut saat nanti ibu meninggal, aku tidak menitikkan > air mata, apalagi nangis.” Mahasiswa program magister ini mengaku pulang saat lebaran atau libur kuliah hanya untuk memenuhi
tanggung jawab sebagai anak. Aslinya, ia tidak memiliki perasaan rindu atau ingin berlama-lama di rumah untuk menikmati kehangatan keluarga. KAPAN SEBAIKNYA MENGIRIM ANAK KE PESANTREN? Ahli
psikologi keluarga dari AS, John Bradshaw, menyebutkan bahwa usia minimal anak hidup terpisah dari orang tua adalah 15 tahun—setelah anak melewati masa pubertas. Pasalnya, di usia tersebut,
anak-anak sudah cakap menjawab saat ditanyai soal kesiapan mereka mengikuti sekolah asrama/pesantren. Riset tahun 2020 menunjukkan peran krusial orang tua dalam membersamai anak di masa
pubertas. Bagi setiap orang, masa pubertas sangat krusial karena dalam fase ini ada perubahan fisik dan psikologis yang signifikan pada anak. Dalam masa transisi remaja, dukungan emosional
dan keterlibatan yang tepat dari orang tua dapat membantu menjaga keseimbangan mental mereka di tengah perubahan hormonal yang kompleks. Interaksi yang terbuka dan penuh perhatian antara
orang tua dan anak adalah satu faktor pelindung utama yang dapat membantu anak-anak mengatasi tekanan sosial dan emosional yang terkait dengan pubertas. Peran orang tua ini sulit digantikan,
oleh siapa pun, termasuk pengasuh di pesantren. Sebab, anak membutuhkan _parenting_ dan _schooling_ sekaligus. Orang tua bisa memberikan keduanya, tetapi orang lain hanya bisa melakukan
_schooling_. Sebab, sejatinya orang lain, termasuk staf pesantren, adalah pekerja profesional—melakukan tugas karena mencari nafkah. Saat ini, dengan sudah maraknya praktik pesantren dini,
pemerintah perlu mengawasi aspek kesejahteraan anak, kurikulum yang seimbang antara pendidikan agama dan kebutuhan perkembangan emosional anak, serta pelatihan/sertifikasi khusus bagi
pengasuh. Pemerintah—dan organisasi independen—juga perlu melakukan evaluasi dan audit rutin terhadap pesantren yang menerima anak usia dini. Tujuannya untuk memastikan bahwa lingkungan
belajar dan hidup anak-anak ini aman, nyaman, dan sesuai dengan standar perkembangan anak.