Wajib vaksin: hak individu atau kesehatan publik?

Wajib vaksin: hak individu atau kesehatan publik?

Play all audios:

Loading...

Pendekatan pemerintah melalui jalur perundangan-undangan dengan menerapkan wajib vaksin menuai kontroversi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut mendukung penjatuhan sanksi untuk memberi


efek jera bagi warga yang menolak vaksinasi. Namun demikian, upaya untuk mencapai target cakupan vaksinasi dengan mengedepankan sanksi administratif maupun pidana belum tentu berhasil.


Justru, ini dapat mengundang reaksi balik (_backlash_) dan memberi bahan bakar bagi kelompok anti-vaksin. Alih-alih mengancam dengan hukuman, pemerintah perlu mengutamakan pendekatan


persuasif dengan menegaskan makna program vaksinasi nasional sebagai suatu upaya gotong-royong untuk mengendalikan wabah. KONTROVERSI WAJIB VAKSIN Walau sudah ada persetujuan penggunaan


darurat vaksin produksi Sinovac dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), pro-kontra mengenai wajib vaksin tetap terjadi. Adakah


landasan untuk menerapkan wajib vaksinasi dengan ancaman hukuman dalam suatu sistem masyarakat yang demokratis? Ada beberapa. Pertama adalah _harm principle_ yang diutarakan oleh John Stuart


Mill, filsuf Inggris yang hidup pada abad ke-19. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibatasi jika merugikan banyak orang. Kedua adalah upaya menghindari efek fenomena sosial


_free rider_ (penumpang gratis) dan _tragedy of the commons_ (tragedi kepentingan umum). Efek _free rider_ terjadi apabila seseorang tidak merasa perlu divaksin karena berasumsi dirinya akan


terlindungi oleh imunitas orang lain yang telah divaksin. Sedangkan _tragedy of the commons_ merujuk pada kemungkinan seseorang mendahulukan kepentingan pribadinya dan mengabaikan


kepentingan umum. Ini dapat berujung pada terjadi kekurangan pasokan vaksin bagi yang membutuhkan yang pada akhirnya dapat merugikan publik secara keseluruhan apabila _herd immunity_ gagal


dicapai. Upaya vaksinasi yang bersifat sukarela sering kali dikhawatirkan gagal untuk mencapai imunitas kelompok karena adanya permasalahan _free rider_ dan _tragedy of the commons_ ini.


Solusi yang kemudian muncul umumnya dalam bentuk regulasi atau peraturan-peraturan yang mewajibkan vaksinasi. Dengan mempertimbangkan _harm principle_, wajib vaksinasi layak dilakukan karena


dapat timbul krisis apabila target cakupan vaksinasi gagal dicapai. Sedangkan, permasalahan _free rider_ dan _tragedy of the commons_ berkaitan dengan keadilan distribusi manfaat dan beban


vaksinasi yang seharusnya merata lintas golongan atau elemen masyarakat. Namun, dari perspektif epidemiologi maupun hak asasi manusia (HAM) mewajibkan vaksinasi dengan ancaman sanksi


dianggap sebagai pendekatan yang kurang tepat dalam upaya pengendalian wabah ini. Selain berpotensi melanggar hak individu, pendekatan yang sifatnya koersif belum tentu berhasil. Pendekatan


ini berisiko menyulut reaksi balik yang dapat mengakibatkan semakin banyaknya penolakan terhadap program vaksinasi yang sedang bergulir. Sebagai contoh, pendekatan pemerintah Inggris saat


wabah cacar (_smallpox_) pada Abad ke-19 dengan mengenakan hukuman bagi warga yang menolak vaksin malah memicu gencarnya gerakan anti-vaksin. Nadja Durbach, ahli sejarah Inggris modern dari


The University of Utah, Amerika Serikat (AS), mencatat bahwa meski pemerintah Inggris meyakini wajib vaksin sebagai upaya rasional untuk melindungi rakyat, sebagian warga justru menganggap


kewajiban itu sebagai pelanggaran terhadap integritas tubuh (_body integrity_). Pemerintah Inggris kemudian menambahkan klausul yang memungkinkan orangtua untuk menolak vaksinasi jika mereka


beranggapan bahwa vaksinasi tersebut dapat merugikan bagi anak mereka. Hal ini berdampak buruk pada cakupan vaksinasi cacar: hanya 56% dari bayi baru lahir yang menerima vaksinasi setelah


berlakunya kebijakan itu. Selain menyoroti interaksi antara hak individu dan negara terkait kesehatan masyarakat, Durbach juga memaparkan bagaimana pendekatan koersif pemerintah dapat


menimbulkan reaksi balik yang memicu penolakan warga terhadap upaya vaksinasi. ------------------------- _ READ MORE: APAKAH VAKSINASI 180 JUTA PENDUDUK INDONESIA CUKUP UNTUK MEMBUAT


MASYARAKAT KEBAL COVID-19? _ ------------------------- PENERIMAAN VAKSIN DI INDONESIA Menurut survei pemerintah Indonesia pada bulan November lalu terhadap lebih dari 115.000 responden di 34


provinsi, hanya sekitar 8% responden yang mengatakan akan menolak vaksinasi. Sekitar 27% responden masih ragu (menjawab ‘tidak tahu’), dan sekitar 65% sisanya menyatakan akan menerima


vaksin. Responden yang menolak vaksin menyebut alasan keamanan (30%); kemanjuran (22%); keraguan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran akan efek samping (12%); dan status halal vaksin (8%).


Keraguan terhadap vaksin adalah perkara kompleks terkait faktor-faktor struktural yang layak dikaji secara serius. Belajar pada pengalaman Inggris, mengecilkan penolakan dan keraguan


terhadap upaya wajib vaksinasi sebagai kedegilan publik atau sekadar kecenderungan sebagian orang untuk percaya pada teori-teori konspirasi dapat menimbulkan reaksi balik yang memicu


penolakan warga terhadap upaya vaksinasi. VAKSINASI SEBAGAI TANGGUNG JAWAB BERSAMA Lalu, adakah pendekatan lain untuk meningkatkan capaian target cakupan vaksinasi tanpa ancaman hukuman?


Selain melalui upaya komunikasi untuk menjawab keraguan warga terhadap vaksin dengan informasi yang koheren, berdasarkan data, dan mudah diakses, pemerintah juga perlu melakukan pendekatan


melalui upaya _framing_ (pembingkaian). Dalam sosiologi, _framing_, secara singkat, adalah suatu proses untuk memahami dan mengkomunikasikan suatu keadaan atau masalah. Pendekatan ini


berdasar pada asumsi adanya pertentangan dan keberagaman makna dalam suatu realitas. Sebagian besar isu-isu kontroversial dalam politik memiliki bingkai-bingkai yang saling bertentangan.


Misalnya, masing-masing warga negara dapat memahami program vaksinasi nasional dengan cara pandang dan interpretasi yang berbeda-beda terkait dengan nilai-nilai dan pertimbangan mereka


masing-masing. Pemerintah dapat mengedepankan makna upaya vaksinasi nasional sebagai suatu tanggung jawab bersama warga negara untuk mengendalikan sebaran dan dampak negatif COVID-19.


Sehingga pemerintah dapat mengajak warga yang awalnya menolak atau ragu-ragu untuk kemudian bersedia menerima vaksin. Memperkenalkan berbagai macam bingkai mengenai vaksinasi (misalnya, hak


untuk memilih, hak atas tubuh, masalah kesehatan masyarakat, kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warganya) dalam komunikasi mengenai kebijakan publik akan mendorong warga untuk membuat


pertimbangan dan pilihan. Masing-masing warga dapat memutuskan apakah ia bersedia menerima vaksinasi secara sukarela tanpa adanya upaya koersif dengan ancaman hukuman. Memahami keraguan


warga (faktor keamanan, manfaat, status halal, dll) terhadap vaksin dapat membantu proses pembingkaian ini. Ini akan memastikan bahwa dalam komunikasi publik pemerintah menggunakan pemaknaan


yang tidak bertabrakan dengan nilai-nilai yang dipegang kebanyakan warga dalam pengambilan keputusan. ------------------------- _ READ MORE: MENGAPA VAKSINASI COVID-19 SWASTA DI INDONESIA


PERLU KITA DUKUNG? _ ------------------------- LEBIH DARI URUSAN INDIVIDU Kemampuan untuk menentukan pilihan —- bebas dari paksaan —- adalah salah satu ciri masyarakat demokratis dan


tegaknya kebebasan publik. Namun, memaknai vaksinasi sebagai pilihan personal dan bukan sebagai kewajiban komunitas cenderung mengabaikan isu utama bahwa upaya pengendalian penyakit menular


(termasuk COVID-19) hanya bisa berhasil melalui partisipasi publik dalam upaya bersama. Penggunaan _frame_ yang tepat untuk memaknai upaya vaksinasi nasional COVID-19 dapat dilakukan sebagai


upaya strategis yang bersifat persuasif untuk meningkatkan capaian target vaksinasi. Ini terutama penting pada tingkatan lokal atau komunitas, misalnya melalui tokoh masyarakat atau pemuka


agama setempat.