Play all audios:
tirto.id - Undang-undang Cipta Kerja yang disusun dengan metode _omnibus_ digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) meski belum bernomor. Per 12 Oktober 2020, panitera MK sudah menerima dua berkas
pendaftaran. __ _Judicial review_ pertama dilayangkan DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS), serikat pekerja yang kantornya terletak di Karawang, Jawa Barat. Pemohon, Ketua
Umum Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafidz, menguji materi UU Cipta Kerja: Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44. Dengan dasar dokumen UU Cipta Kerja yang
mereka pegang--saat ini banyak versi beredar--pasal 81 angka 15 dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas
perpanjangan, dan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu; pasal 81 angka 19 yang menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja; dan
pasal 81 angka 25 mengakibatkan perhitungan upah minimum lebih rendah ketimbang PP 78/2015.__ Lalu pasal 81 angka 29 yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan mengakibatkan tidak adanya
sanksi bagi perusahaan yang lalai membayar upah lebih rendah dari upah minimum; pasal 81 angka 44 mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan yang tidak mewajibkan membayar uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja.__ “Mohon kiranya yang mulia majelis hakim konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” tulis Deni Sunarya
dalam berkas gugatan. Baca juga: JR kedua dilayangkan oleh karyawan kontrak Dewa Putu Reza dan pekerja lepas Ayu Putri. Mereka mengatakan UU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian
pengangkatan sebagai pegawai tetap karena Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dihapus--berdasarkan dokumen yang mereka pegang; merampas hak pekerja untuk
hidup layak karena menghapus uang penghargaan masa kerja; dan menambah beban pekerja karena menghapus ketentuan istirahat mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja dan jam lembur
diperpanjang. Mereka berharap majelis hakim mengabulkan permohonan secara keseluruhan. “Menyatakan Pasal 59, 156 ayat (2) dan (3), Pasal 79 ayat (2) b, dan Pasal 78 ayat (1) b pada bagian
Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tulis kuasa hukum Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dalam berkas gugatan. Kuasa hukum lain bernama
Seira Tamara Herlambang. Permohonan dua pekerja ini pada Kamis 15 Oktober kemarin direvisi dan digabung dengan permohonan yang didaftarkan oleh Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi
(GEMA-PHK). Mereka tidak lagi mengajukan permohonan uji materiil (substansi peraturan), tapi uji formil (tata cara penyusunan peraturan). Kuasa Hukum GEMA-PHK Victor Tandiasa mengatakan
dalam konferensi pers ia dan kawan-kawan mendaftarkan permohonan uji formil untuk menggagalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan. Menurutnya peraturan itu “cacat formil dan tidak layak
diundangkan.” Salah satunya karena draf yang disahkan dalam rapat paripurna pada 5 Oktober tidak sama dengan draf yang akan ditandatangani Presiden Joko Widodo. Victor sengaja mengajukan
permohonan meskipun nomor UU Cipta Kerja belum keluar. Tujuannya agar ketika nomor sudah ditentukan, MK dapat langsung menggelar sidang. Pada akhirnya ia mengaku optimistis “MK mengabulkan
permohonan ini meskipun sejak berdiri, jarang mengabulkan [uji formil].” Pakar Hukum Tata Negara dan Direktur HICON Law & Policy Strategic Hifdzil Alim menilai JR berpeluang besar
dikabulkan. “Potensinya besar karena UU CK (Cipta Kerja) mendapat penolakan secara luas dari publik. Juga masih terjadi polemik di DPR,” katanya kepada reporter _Tirto_, Rabu (14/10/2020).
Masing-masing klaster sebaiknya diuji secara terpisah sehingga menghasilkan banyak permohonan, katanya. Ia juga menyarankan agar dilakukan uji formil, yaitu menguji prosedur/tata cara
penyusunan undang-undang, lantaran “formil penyusunan juga bermasalah.” YANG RAGU Pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti justru meragukan kans
keberhasilan menggagalkan UU Cipta Kerja lewat MK. Menurutnya revisi UU MK telah mengunci beberapa hakim agar bersimbiosis dengan legislatif dan eksekutif. Baca juga: Salah satu perubahan
dalam revisi UU MK adalah memperpanjang masa jabatan hakim hingga berumur 70 tahun. “Patut dibaca bahwa ini upaya untuk 'menjinakkan MK'. Coba cek _live streaming _sidang revisi UU
KPK, itu kelihatan hakim-hakim mana yang sangat bias dan menyudutkan pemohon. Ini bisa terjadi terus dan mungkin makin menguat,” katanya saat dihubungi reporter _Tirto_, 6 Oktober lalu.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga sudah jauh-jauh hari meminta bantuan agar MK juga turut serta membantu pemerintah yang tengah merancang _omnibus law_--kendati itu hanya pernyataan
politis. Dosen hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga pernah bilang bahwa aspek politis jadi batu sandungan menggagalkan UU Cipta Kerja di MK. Zainal
menyebut revisi UU MK ini “isinya cuma pil tidur untuk para hakim MK.” Tapi juru bicara MK Fajar Laksono memastikan sebaliknya. Ia bilang MK “akan proses setiap permohonan sesuai dengan
ketentuan dan hukum acara.” Ia juga mengatakan kepada reporter _Tirto_, Rabu, “semua putusan MK, terutama yang memuat _legal policy _baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh _adressat
_putusan, termasuk pembentuk UU.”