Play all audios:
tirto.id - Puluhan petugas dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia usai bekerja pada hari pemilihan umum, 17 April lalu. Sebabnya macam-macam, dari kecelakaan
hingga━yang jumlahnya paling banyak━kelelahan.__ Berdasarkan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Senin (22/4) kemarin, terdapat 91 petugas KPPS yang meninggal dunia akibat
panjangnya durasi kerja selama pemilu serentak. Bagi petugas KPPS, sistem pemilu serentak yang baru digelar tahun ini memang membuat jam kerja mereka amat panjang. Para petugas mesti
menghitung ratusan atau bahkan ribuan surat suara Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota atau Kabupaten, dan DPD RI.__ Selain melakukan rekapitulasi, menyusun laporan, dan
melengkapi berita acara, petugas KPPS juga harus membantu memfasilitasi calon pemilih agar mendapatkan haknya. Petugas juga bertanggung jawab terhadap fisik TPS. Artinya, mereka juga
bekerja sebelum hari pemilihan━meski beban terberat tetap pada hari H.__ MENIRU INDIA? Di samping Pemilu serentak yang dianggap tidak sangkil dan mangkus pula melelahkan, dan karenanya
direkomendasikan tidak dilakukan lagi, tragedi yang menimpa petugas KPPS seperti membuka kembali wacana pemungutan dan penghitungan suara secara elektronik (_electronic voting_). Proses
_voting_ secara elektronik sendiri bukanlah sesuatu yang asing. Lembaga Internasional Pemilu dan Demokrasi (IDEA), yang berkantor pusat di Stockholm, Swedia, menyebut sudah ada sekitar 32
negara yang menerapkan _electronic voting_ dalam kegiatan pemilunya. Negara-negara tersebut antara lain Swiss, Kanada, Australia, AS (hanya di beberapa negara bagian), Jepang, Korea Selatan,
hingga India. India merupakan contoh yang tepat bila berbicara tentang _electronic voting_. Sistem coblosan secara elektronik ini sudah diterapkan sejak beberapa dekade silam, tepatnya saat
pemilihan Majelis Konstituante di Kerala pada 1982. Dalam setiap coblosan, Komisi Pemilihan Umum India (EC) menyiapkan alat bernama Electronic Voting Machine (EVM). Mesin ini terdiri atas
dua bagian: unit kontrol dan pemungutan suara━keduanya terhubung dengan kabel sepanjang lima meter. Unit kontrol ditempatkan di dekat petugas, sementara unit pemungutan suara berada di dalam
kotak atau bilik bersama para pemilih. Agar pemilih dapat menyalurkan suaranya, mereka diminta menekan satu dari sekian tombol━berisikan keterangan kandidat maupun daftar partai
politik━yang terletak di samping unit pemungutan suara. EVM dirancang oleh Komite Ahli Teknis KPU India (TEC) yang bekerja sama dengan dua perusahaan BUMN, Bharat Electronics dan Electronic
Corporation of India. Pada pemilu 2014, KPU India menyediakan sekitar 1,6 juta EVM yang masing-masing mampu merekam 2.000 suara. Dana produksi yang dibutuhkan untuk satu mesin yakni 8.670
rupee atau sekitar Rp1,7 juta. Keunggulan EVM, menurut klaim pemerintah, ialah bisa dipakai di daerah tanpa listrik karena memanfaatkan tenaga dari baterai; mampu menghilangkan suara tidak
sah sehingga dapat menghemat anggaran negara; meniadakan percetakan jutaan surat suara; proses penghitungan sangat efektif dan hasilnya dapat diumumkan dalam 3 hingga 5 jam kemudian; serta
keberadaan mesin betul-betul memastikan “satu orang, satu suara” dapat terealisasi sebab ketika pemilih sudah menekan tombol, maka suara yang masuk mesin otomatis langsung terkunci dan tak
bisa berubah lagi. Dalam penelitian berjudul “The Impact of Electronic Voting Machines on Electoral Frauds, Democracy, and Development” (2017, PDF), Sisir Debnath, Mudit Kapoor, dan Shamika
Ravi mengungkapkan bahwa kehadiran EVM mampu menurunkan tingkat kecurangan, mendorong perempuan dan orang-orang dari kelompok kasta terendah lebih aktif memberikan suara mereka, hingga
mengurangi angka kriminalitas (pembunuhan, pemerkosaan) yang muncul sehubungan dengan pemilu. DITOLAK ATAU LANJUT? Meski dianggap punya banyak keunggulan, tidak semua negara menerima
penerapan _electronic voting_. Rata-rata punya basis argumen sama: dengan menyertakan mesin, potensi kecurangan━diretas, misalnya━lebih terbuka lebar. Pada pemilu 2017, sebagaimana
dilaporkan _BBC_, _electronic voting_ di Venezuela dianggap jadi cara pemerintah untuk menggelembungkan suara━klaim yang lantas dibantah pemerintah. Di Argentina, _e-voting_ ditolak sebab
hasil pemilu dicemaskan bisa dimanipulasi. Sedangkan di Jerman, pada 2009, pengadilan melarang _e-voting_ karena tidak semua warga paham bahasa pemrograman. Respons masyarakat India
sebetulnya tak jauh beda dari negara-negara di atas. Masyarakat menilai bahwa _e-voting_ rawan diretas. Berbagai upaya pun dilakukan agar pemerintah India menimbang ulang penerapan
_e-voting_. Salah satunya dengan menggugat ke pengadilan. Tujuh kali upaya hukum ditempuh, tujuh kali pula pengadilan menolaknya. Pemerintah selalu berdalih: EVM kokoh dan tak bisa ditembus
para peretas. Namun, pada 2010, pemerintah India mesti menanggung malu. Sekelompok peneliti yang dipimpin Alex Halderman dari University of Michigan memperlihatkan bahwa EVM bisa ditembus.
Para peneliti ini menghubungkan perangkat buatan ke mesin dengan mikroprosesor serta mengirim pesan teks dari ponsel yang kemudian mampu mengubah angka dalam mesin penghitungan suara.
Penelitian tersebut lantas dituangkan dalam _paper_ bertajuk “Security Analysis of India’s Electronic Voting Machines” (PDF). Para peneliti berpendapat, dari eksperimen yang sudah dilakukan,
EVM di India sangat rentan terhadap “serangan serius”. Penyerang, dengan akses tertentu, dapat mengubah hasil pemilihan sesuai kepentingannya. Keadaan itu, tegas mereka, berakar dari tidak
transparannya pemerintah terhadap mesin bikinannya sendiri. Agar masalah kecurangan dapat dihindari, Halderman dan kawan-kawannya menyarankan pemerintah, atau dalam hal ini KPU India,
menyertakan VVPAT (_Voter-Verified Paper Audit Trail_) di setiap EVM yang ada. Tujuan pengadaan VVPAT adalah untuk meningkatkan transparansi selama proses pemungutan suara. VVPAT
memungkinkan pengguna untuk bisa memverifikasi bahwa suara mereka diberikan sebagaimana yang dimaksud. Mekanisme kerjanya secara sederhana: ketika suara sudah diberikan, mesin akan mencetak
slip berisikan nama pemilih dan kandidat pilihannya yang sudah diberi nomor seri. Kemudian, cetakan ini otomatis akan terpotong dan jatuh di dalam kotak yang telah disediakan. Laporan
tersebut memicu gelombang pertentangan yang cukup keras. Akhirnya, pada Januari 2012, Pengadilan Tinggi New Delhi menyatakan bahwa EVM tidak sepenuhnya aman dari serangan siber. KPU India,
sebagaimana putusan pengadilan, lantas diminta memasang VVPAT di setiap EVM guna mencegah aksi-aksi kecurangan. Chantal Enguehard dalam “Transparency in Electronic Voting: the Great
Challenge” (2009, PDF) menulis bahwa terlepas dari banyaknya kemudahan dan keuntungan yang ditawarkan _e-voting_, ia tetap punya isu besar berwujud transparansi. Hal itu, tegas Chantal,
merupakan faktor penting dalam menciptakan kepercayaan bagi pemilih ketika proses pemungutan suara dilangsungkan. Berbeda dengan sistem pemungutan suara konvensional yang memang sengaja
didesain agar tetap transparan dan terhindar dari upaya kecurangan berskala besar, sistem _e-voting_ justru rentan terhadap kedua hal itu. Sekalipun dalam perkembangannya _e-voting_
melengkapi kepingan sistemnya dengan berbagai perangkat penunjang yang ditujukan untuk mencegah aksi-aksi culas, tetap saja sistem ini punya celah ruang yang sangat bisa dieksploitasi.
Pertanyaannya: apakah Indonesia perlu menerapkan e-voting atau tidak?