Play all audios:
Dalam hidupnya, anak mengalami tiga ruang pergaulan yang disebut Ki Hajar Dewantara sebagai _tripusat_ pendidikan, yaitu: keluarga, perguruan (sekolah), dan pergerakan pemuda (masyarakat).
_Tripusat_ pendidikan ini menjadi dasar pengembangan pendidikan berkualitas dengan mendorong keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam dunia pendidikan. Secara formal, hal ini telah diatur
pada Pasal 7-9 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maupun Pasal 13-16 RUU Sisdiknas. Topik keterlibatan orang tua dan masyarakat merupakan salah satu isu krusial yang diteliti oleh
_Research on Improving Systems of Education_ (RISE)-Indonesia, sebuah program penelitian berskala global di Indonesia yang dilaksanakan melalui kemitraan SMERU _Research Institute_ dengan
_Oxford Policy Management_ dan _Blavatnik School of Government_ Universitas Oxford, Inggris, pada 2017-2022. Kami meneliti peran orang tua dan masyarakat di tiga daerah, yaitu Kebumen, Jawa
Tengah;, Bukittinggi, Sumatera Barat; dan Yogyakarta. Penelitian kami menemukan dua cara menumbuhkan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses belajar anak sebagai berikut: 1.
MENINGKATKAN KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DAN GURU Dari Februari 2020 hingga April 2021, RISE-Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kebumen, melakukan intervensi, yaitu perlakuan
terhadap subjek penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang timbul, untuk menumbuhkan partisipasi orang tua dan masyarakat agar aktif mendampingi belajar anak. Intervensi
dilaksanakan dengan cara setiap bulan guru mengirimkan surat kemajuan belajar masing-masing anak kepada orang tua Kelas 1-6. Untuk meningkatkan keterlibatan orang tua, mereka diminta
merespons surat tersebut pada “bagian tanggapan,” kemudian dikembalikan kepada guru. Intervensi ini dilengkapi dengan pengiriman poster dorongan keterlibatan orang tua dalam pembelajaran
anak. Selesai intervensi, kami melakukan survei dampak melalui kepala sekolah, guru, orang tua di 65 sekolah dasar di mana kami melakukan intervensi dan 65 sekolah dasar lainnya yang tidak.
Hasilnya menunjukkan, program berhasil meningkatkan peran orang tua dalam membimbing anak belajar di rumah dan komunikasi orang tua dengan guru. Meningkatnya komunikasi orang tua dan guru
telah memperbaiki pula motivasi serta dukungan guru dalam membimbing pembelajaran murid. Manfaat komunikasi yang baik antara orang tua dan guru juga terlihat di Bukittinggi. Selama sekolah
tutup karena pandemi COVID-19, RISE-Indonesia mencatat pertemuan murid dan guru menurun. Namun, mereka tetap belajar 6 hari per minggu bersama orang tua. Hasilnya, berdasarkan tes numerasi
dan literasi, selama belajar dari rumah pada 2020, murid di Bukittinggi dapat mempertahankan hasil belajarnya. 2. MERAWAT LINGKUNGAN BELAJAR YANG KONDUSIF Sebelum melakukan intervensi dan
penelitian di Kebumen, RISE-Indonesia meneliti inovasi daerah yang melibatkan orangtua dan masyarakat dalam merawat lingkungan belajar anak di Bukittinggi dan Yogyakarta pada bulan
Juni-Desember 2019. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kedua daerah tersebut menemukan cara merawat peran orang tua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendorong anak belajar di
rumah. Bukittinggi, contohnya, memiliki Sekolah Keluarga (SK), sebuah program berbasis komunitas dengan 16 sesi pertemuan yang difasilitasi akademisi dan birokrat lokal. SK berfokus pada
fungsi keluarga, khususnya dalam pendidikan anak. SK dikelola dan dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah kelurahan dengan peserta setiap angkatan sekitar 15 orang. Kegiatan tersebut
terlaksana berkat kuatnya jaringan kekerabatan. Dalam tradisi Minangkabau, terdapat konsep “mamak” yaitu paman atau saudara laki-laki dari ibu. Mamak berperan dalam membimbing kemenakan
(keponakan), memelihara dan mengembangkan harta pusaka serta mewakili keluarga dalam urusan keluar. Mamak juga berkewajiban membantu anak-keponakan agar sukses mengarungi kehidupan. Dalam
konteks yang lebih luas, hubungan mamak dan kemenakan bisa dipahami juga sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Sehingga, pejabat dan tokoh masyarakat dapat juga berposisi sebagai “mamak” bagi
rakyat. Motto Bukittinggi _saayun salangkah_ yang berarti ayunan tangan seirama dengan langkah kaki, memberi semangat kepada warga untuk menuju arah yang sama meski dengan cara atau dalam
kelompok yang berbeda. Gerak ini cenderung egaliter. Sementara itu, Yogyakarta menginisiasi program jam belajar masyarakat (JBM) yang tujuannya menyediakan lingkungan nyaman bagi anak untuk
belajar di rumah. Untuk itu, warga bersepakat mematikan radio, televisi, dan gawai antara pukul 18.00-20.00 setiap malam. Inovasi tersebut lahir dalam struktur sosial yang mencerminkan nilai
guyub rukun yang menjunjung kebersamaan hidup berlandaskan kedamaian hubungan antarwarga dan menghormati pemimpin. Di kampung Jogoyudan yang terletak di bantaran kali Code, Yogyakarta,
komunitas mahasiswa dari berbagai universitas rutin melakukan pengabdian dengan membantu anak-anak belajar. Oleh karena itu, keterbatasan kemampuan, waktu, dan finansial keluarga dapat
dikompensasi oleh kehadiran bantuan pihak luar. Aksi kolektif masyarakat dan pemerintah di Kebumen, Bukittinggi, dan Yogyakarta di atas telah terbukti berhasil merawat mutu pendidikan. Hal
ini menegaskan bahwa keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mendampingi anak belajar perlu dilembagakan secara eksplisit dalam peraturan-perundangan pendidikan. Pendampingan belajar
anak tidak berarti orang tua menjadi “guru pengganti” di rumah karena mereka belum tentu memiliki kapasitas mengajar. Kewajiban orang tua dan masyarakat, sebagaimana ditunjukkan melalui
intervensi di Kebumen, SK Bukittinggi dan JBM Yogyakarta, adalah berkomunikasi secara aktif dengan guru, serta menyediakan lingkungan pendukung yang kondusif dengan cara-cara yang sesuai
konteks kearifan lokal.