Explainer: apa itu identitas gender ‘nonbiner’?

Explainer: apa itu identitas gender ‘nonbiner’?

Play all audios:

Loading...

Sejak kecil, kita diajarkan bahwa ada anak laki-laki dan ada anak perempuan. Dalam beberapa masyarakat yang progresif, jika beruntung, kita juga akan diajarkan bahwa terkadang “laki-laki”


menjadi perempuan, dan “perempuan” menjadi laki-laki. Tapi apakah pilihannya hanya dua itu? Orang-orang yang memiliki identitas gender nonbiner akan berkata “tidak”. Mereka yang menganggap


dirinya sebagai nonbiner (atau terkadang memakai istilah payung ‘genderqueer’) kerap merasa bahwa dua kategori gender – laki-laki ATAU perempuan – terlalu sederhana atau terbatas untuk bisa


menjelaskan perasaan dan pengalaman mereka terkait gender mereka sendiri. Sejak masa balita, misalnya, kita diberi tahu bahwa semua orang harus masuk dalam kotak tertentu, antara “laki-laki”


atau “perempuan”. Salah satu hal yang pertama kali kita lakukan saat bertemu dengan orang baru, atau sekadar berpapasan dengan orang di jalan, biasanya adalah menentukan mereka masuk dalam


kotak yang mana. Namun, pembagian gender menjadi hanya dua kategori atau biner, bisa meminggirkan mereka yang tidak merasa masuk dalam kategori ini. Menurut peneliti sosial Susan Saltzburg


dan Tamara S. Davis: > Dalam mereduksi pengalaman manusia menjadi suatu interpretasi > identitas gender yang terlampau sederhana, kita mengukuhkan suatu > cara berpikir tentang 


kategori gender yang terpisah menjadi dua > kotak, sehingga memarjinalkan mereka yang melintasi batasan-batasan > kriteria gender tersebut. Beberapa pengkaji feminis mendorong suatu


pembedaan antara ‘seks’ dan ‘gender’. Dalam hal ini, seks merupakan kerangka biologis (_male_ atau _female_), sementara gender merupakan konstruksi sosial mengenai pengalaman akan


maskulinitas dan femininitas. Feminis lain, termasuk peneliti gender Judith Butler dari University of California-Berkeley di Amerikat Serikat (AS), bahkan berpikir lebih jauh lagi. Mereka


menantang kepercayaan umum terkait dua kategori biologis dari seks yang sering dianggap ‘alami’, dan beranggapan bahwa tidak semua bayi terlahir sebagai _male_ ataupun _female_. Para


akademisi ini menunjukkan bahwa pemikiran sosial kita tentang gender mempengaruhi cara kita memahami tubuh manusia. Pemahaman bahwa gender tidaklah intrinsik ataupun biner memberi ruang


munculnya konsep identitas gender nonbiner. MELAMPAUI BATASAN BINER DARI GENDER Bagi banyak orang, konsep identitas gender nonbiner masih merupakan hal yang misterius. Salah satunya karena


nonbiner bisa punya arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Beberapa orang nonbiner merasa bahwa diri mereka hidup di antara dua kategori biner dari gender; beberapa merasa berada di luar


kategori-kategori tersebut; sementara yang lainnya sepenuhnya menolak konsep biner dari gender serta menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa ditantang atau ‘ditarik-ulur’. Identitas gender


nonbiner bisa membantu individu untuk senantiasa mengeksplor gender mereka secara fleksibel dan bereksperimen sepanjang hidup mereka. Tapi, ini juga bisa memberi mereka tempat yang nyaman di


antara dua kategori gender tradisional. Istilah-istilah lain – seperti ‘genderfluid’, ‘agender’, atau ‘genderless’ – menjelaskan perspektif-perspektif yang serupa. Sementara ‘cisgender’


menjelaskan pengalaman saat seseorang merasa sejalan dengan gender mereka saat lahir (misalnya secara seks lahir sebagai _female_, lalu mengemban identitas gender sebagai perempuan). Tidak


ada satu cara untuk menjadi – atau menampilkan diri – sebagai nonbiner. Meski beberapa orang nonbiner menunjukkan dirinya dengan tampilan yang ambigu antara maskulin dan feminin


(_androgynous_), penting untuk kita catat bahwa tidak semua orang nonbiner menampilkan dirinya seperti ini. Jadi, karena kita tidak bisa memastikan apakah seseorang merupakan nonbiner hanya


dengan melihat mereka, satu-satunya cara untuk kita tahu perasaan seseorang tentang gender mereka adalah dengan mendengarkan mereka secara tulus dan menunggu mereka untuk memberi tahu kita.


BAGAIMANA DENGAN TRANSGENDER? Telah banyak perbincangan terkait istilah ‘transgender’, misalnya seputar mantan atlet olimpiade Caitlyn Jenner dan bintang serial Orange Is The New Black


(2013-2019) Laverne Cox. Jadi, mari kita bicarakan hubungan antara ‘nonbiner’ atau ‘genderqueer’, dengan ‘transgender’. Secara umum, transgender biasanya merujuk pada orang yang


mengidentifikasi diri dengan suatu kategori gender (laki-laki ATAU perempuan), yang ‘berlawanan’ dari seks mereka saat lahir. Misalnya, seseorang yang secara seks lahir sebagai _male_, namun


kemudian mengidentifikasi diri sebagai perempuan, kerap disebut ‘perempuan transgender’ atau ‘transpuan’. Sebaliknya, seseorang yang secara seks lahir sebagai _female_ kemudian


mengidentifikasi diri sebagai laki-laki disebut sebagai ‘laki-laki transgender’ atau ‘transpria’. Namun, meski beberapa orang transgender memang punya perasaan terjebak di ‘tubuh yang


salah’, beberapa lainnya merasa memiliki identitas gender yang lebih cair (_fluid_). Mereka bisa jadi mengidentifikasi diri sebagai transgender sekaligus nonbiner. Beberapa orang yang


transgender sekaligus nonbiner, bisa jadi ingin menggunakan terapi hormon atau melakukan operasi untuk membentuk ulang tubuh mereka. Yang lainnya mungkin tidak menginginkan perubahan fisik


sama sekali. Identitas gender nonbiner atau genderqueer memang merupakan konsep yang cenderung lebih asing dari transgender. Akibatnya, orang-orang biner yang tidak ingin mengubah tampilan


diri mereka secara medis, legal, atau pun sosial, berpotensi menghadapi berbagai tantangan ekstra supaya identitas mereka diakui secara formal. Dalam dunia riset, sudah banyak penelitian


yang fokus pada pengalaman transgender, termasuk kompilasi analisis akademik ‘_Transgener Studies Reader_’ (2006, 2013). Namun, ada jauh lebih sedikit perhatian akademik untuk identitas dan


pengalaman nonbiner. Satu buku yang berupaya mengisi celah ini adalah ‘_GenderQueer: Voices From Beyond the Sexual Binary_’ (2002), yang diedit oleh Joan Nestle, Clare Howell and Riki Anne


Wilchins. HAMBATAN BAHASA DAN INSTITUSIONAL Ada banyak yang kita bahas tentang bagaimana orang mengubah tubuh mereka, tapi belum banyak atensi yang kita berikan terkait perubahan-perubahan


kecil yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat untuk membuat hidup orang nonbiner menjadi lebih nyaman. Aspek kehidupan sehari-hari yang kita sering remehkan – seperti masuk ke toilet umum


yang 'tepat’, atau mencentang ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ pada sebuah formulir – menjadi sangat susah kalau kita tidak masuk salah satu kategori tersebut. Di beberapa negara, banyak


sekolah, perusahaan, dan organisasi mulai menawarkan ‘kamar mandi netral-gender’. Dalam beberapa formulir atau dokumen resmi juga mulai muncul kotak ‘lainnya’ (_other_) dalam bagian yang


menanyakan gender, atau sebutan yang netral-gender seperti Mx (di samping Mr dan Ms). Perubahan-perubahan ini penting untuk menghapus beberapa hambatan institusional yang dihadapi


orang-orang nonbiner. Ada juga beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai individu untuk mendukung orang-orang nonbiner. Mengubah nama bisa jadi langkah yang penting bagi seseorang untuk


menunjukkan identitas gender mereka pada dunia. Jika namamu adalah ‘Jessica’, misalnya, orang kerap beranggapan bahwa kamu adalah perempuan; jika ‘Ben’, maka laki-laki. Meski tidak semua


orang nonbiner merasa perlu untuk mengubah nama, beberapa mengingingkan nama yang netral. Mengakui perubahan nama tersebut sangat penting untuk menghormati identitas gender seseorang. Senada


dengan itu, di beberapa negara Barat, ada orang nonbiner yang nyaman dengan kata panggilan (_pronoun_) seperti ‘_he/him_’ atau ‘_she/her_’, ada pula yang lebih suka memakai kata panggilan


yang netral-gender seperti ‘_they/them_’ atau ‘_zie/zir_’. Meski pergeseran bahasa ini membuat beberapa pegiat tata bahasa tersinggung, pergeseran kata plural ‘_they_’ dalam bahasa Inggris


menjadi subjek tunggal telah diakui dalam Kamus Oxford. Di negara berbahasa Inggris, menggunakan ‘_they_’ untuk menyebut seorang individu bisa jadi terasa menantang saat kita pertama kali


melakukannya. Namun, ini merupakan perubahan kecil yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan rasa hormat kita pada identitas orang lain. Memahami dan mengingat berbagai istilah dan konsep


yang kompleks ini adalah upaya yang menantang, namun layak kita perjuangkan. Lagipula, tantangan menyesuaikan diri dengan perubahan ini jauh lebih remeh daripada hambatan sosial yang dialami


orang-orang transgender atau nonbiner. SAATNYA BERHENTI MENGKOTAK-KOTAKKAN Kita bisa membawa berbagai pelajaran di atas selangkah lebih jauh lagi. Selama ini, kategori gender yang


konvensional terikat erat dalam bahasa kita sehari-hari maupun dalam dokumen institusional – dan ini mempengaruhi cara kita memandang dunia. Karena kita tahu bahwa tidak semua orang masuk


dalam kategori ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’, mungkin ini adalah saatnya mempertanyakan insting kita untuk langsung memberikan label tertentu pada orang lain. Lain kali kita sedang berada di


jalan, cobalah untuk membayangkan orang-orang yang kamu lewati tanpa suatu gender tertentu. Bagi kebanyakan dari kita, hal ini sangatlah susah. Tapi, dengan berlatih, kita bisa sedikit lebih


menghormati orang selanjutnya yang kita temui, yang bisa jadi adalah nonbiner. Menyangkal identitas gender seseorang bisa berkontribusi meningkatkan prasangka, rasa takut, dan kekerasan


terhadap orang yang tidak masuk dalam kategori gender tradisional. Kekerasan ini wujudnya bisa bermacam-macam, dan bisa mempengaruhi berbagai kelompok individu termasuk transgener, agender,


dan nonbiner. Ketimbang berupaya menentukan siapa yang ‘benar-benar’ merupakan laki-laki atau perempuan, bukankah lebih baik kita menghabiskan waktu kita untuk membahas dan menghormati


kompleksitas identitas gender manusia?