Play all audios:
Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil karena tidak sesuai dengan teknis pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam proses pengesahannya, MK juga melihat UU Cipta Kerja (_omnibus law_) tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembahasan. Terutama
menyangkut dengan partisipasi publik dalam proses pembentukan sangat minim dan adanya ketentuan yang berbeda di RUU Cipta Kerja versi Paripurna dengan UU Cipta Kerja . Meski menyatakan UU
itu cacat formil, MK tidak secara tegas-tegas membatalkan UU, melainkan “inkonstitusional bersyarat”. MK memberi kesempatan pada pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) untuk
memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baku, dan tunduk pada asas-asas yang berlaku. Putusan terhadap UU Cipta Kerja itu adalah
putusan MK pertama yang mengabulkan permohonan pengujian formil suatu undang-undang. Sebelumnya, pengujian formil yang diajukan ke MK selalu berakhir dengan penolakan. Sayangnya, meski
permohonan uji formil ini dikabulkan, putusan inkonstitusional bersyarat yang dikeluarkan MK justru mengundang perdebatan karena memunculkan tafsir yang ambigu. TAFSIR GANDA Terkait
keputusan yang bersyarat, MK dalam putusannya dapat menyatakan suatu ketentuan dalam UU sebagai konstitusional bersyarat (_conditionally constitutional_) atau inkonstitusional bersyarat
(_conditionally unconstitutional_). Konstitusional bersyarat bermakna bahwa suatu ketentuan dinyatakan tetap berlaku selama jangka waktu tertentu hingga tercapainya suatu kondisi baru
sebagaimana yang ditetapkan oleh MK dalam putusannya. Kondisi kedua, yaitu inkonstitusional bersyarat, bermakna bahwa suatu ketentuan dinyatakan tidak berlaku sejak putusan tersebut
dibacakan hingga kondisi yang diharapkan sudah tercapai, atau akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi. Namun, putusan MK atas UU Cipta Kerja
menimbulkan perdebatan karena potensi tafsir ganda.Putusan itu berkebalikan dengan makna inkonstitusional bersyarat yang selama ini dipahami. MK menyatakan bahwa UU tetap berlaku selama dua
tahun ke depan, tapi pemberlakuannya dibatasi. UU Cipta Kerja baru akan dinyatakan inkonstitusional secara permanen bila perbaikan sebagaimana yang dimaksud tidak dilakukan dalam waktu dua
tahun. Beberapa orang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku hingga batas waktu perbaikan, sementara kelompok yang lain justru menyatakan bahwa UU itu tidak boleh lagi diberlakukan
sama sekali. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, misalnya, ia menganggap bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku secara konstitusional sampai batas waktu perbaikan
berakhir. Putusan MK pada kenyataannya memang menyatakan demikian. Walau inkonstitusional, namun MK menyatakan secara tegas bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku hingga batas waktu dua
tahun terlewati, sekalipun perbaikan tidak dilakukan dalam periode itu. Hanya konteks berlakunya yang dibatasi, yakni melarang pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana baru, dan
mengeluarkan kebijakan strategis dan berdampak luas yang didasarkan pada UU Cipta Kerja. Pada sisi yang lain, banyak akademisi yang justru menyatakan sebaliknya. Menurut mereka, putusan
inskonstitusional bersyarat yang dijatuhkan tidak dapat diartikan bahwa UU tersebut masih berlaku hingga batas waktu perbaikan berakhir. Menurut mereka, putusan tersebut hanya memberikan
peluang bagi pembentuk undang-undang untuk memperbaiki dan selama proses perbaikan belum selesai. UU Cipta Kerja tidak dapat diberlakukan karena statusnya saat ini adalah inkonstitusional.
Bila merujuk pada tafsir dari konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat, UU Cipta Kerja memang inkonstitusonal hingga perbaikan sebagaimana yang diperintahkan MK dilaksanakan.
Dalam konteks ini, sifat inkonstitusional dari putusan tersebut melekat pada UU Cipta Kerja. UU ini baru akan menjadi konstitusional bila perintah perbaikan dari MK selesai dijalankan.
------------------------- _ READ MORE: TIGA MASALAH DALAM REVISI UNDANG-UNDANG TERKAIT UU CIPTA KERJA _ ------------------------- PERBAIKAN LUAS Dalam putusannya, menurut MK perbaikan tidak
hanya perlu dilakukan terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Namun, secara formal, putusan tersebut juga menuntut pembentuk undang-undang untuk merumuskan aturan
baku terkait penggunaan _omnibus law_, baik dalam bentuk dasar hukum yang memberikan legitimasi, maupun dari segi aturan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan. Selama ini,
pembentukan peraturan perundang-undangan merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan peraturan perubahannya UU No. 15 Tahun 2019. Tapi UU tersebut
belum mengakomodasi penggunaan undang-undang _omnibus_, yaitu penggunaan satu UU untuk mengatur banyak sektor atau mengatur sejumlah undang-undang lain. Setelah aturan yang memberikan
legitimasi pada penggunaan _omnibus_ dirumuskan, baru proses perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dapat dilakukan. Tapi, bila membaca putusan MK secara utuh, perbaikan terhadap UU Cipta Kerja
agar syarat-syarat formil terpenuhi tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Perbaikan memerlukan proses yang bertahap karena MK juga menginginkan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik - dalam konteks ini asas keterbukaan terpenuhi - terutama dalam hal pemenuhan partisipasi publik. Sebelumnya, dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja,
partisipasi publik memang sangat minim. Bahkan pengesahan terhadap RUU tersebut dilakukan saat terjadi banyak penolakan akibat keinginan publik belum tertampung dalam proses legislasi
penyusunan UU Cipta Kerja. Pengesahan UU Cipta Kerja juga dilakukan dengan sangat tergesa-gesa, saat pembahasan belum selesai. Itu sebabnya, banyak terdapat perbedaan subtansi di RUU Cipta
Kerja versi paripurna 5 Oktober 2020 dengan naskah UU Cipta Kerja saat ini. Selain memerintahkan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja, MK ini juga sekaligus memberikan kritik terhadap pola
pikir pemerintah yang selama ini memahami reformasi regulasi seolah-olah terbatas pada simplifikasi dan pemangkasan regulasi belaka. Putusan MK ini menjadi ujian penting bagi politik
legislasi pemerintah yang amat mengandalkan UU omnibus sebagai satu-satunya pilihan strategi untuk membenahi regulasi.