Play all audios:
Memburuknya kondisi alam memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan manusia, kata peneliti. Jatna Supriatna, profesor biologi konservasi di Universitas Indonesia, misalnya, mengatakan
bahwa timbulnya berbagai pandemi selama ini sering diakibatkan praktik perusakan hutan dan penangkapan hewan liar. “Misalnya, kerusakan hutan di Brazil dimana timbulnya Zika. Kemudian
kerusakan hutan di Cina, Vietnam, dan Asia Tenggara, itu semua _SARS_ dan _SARS-Cov_ ada di sini. Kemudian juga di Afrika ada Ebola, HIV, dan sebagainya,” ujarnya. Jatna menyampaikan ini
dalam diskusi “_Pandemi Itu Nyata, Begitu Pula Krisis Iklim_” yang diadakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) pada pertengahan Novermber lalu. Jatna menjelaskan, berkurangnya
kawasan keragaman hayati akibat deforestasi membuat jumlah karnivora menyusut, sehingga jumlah primata seperti kelelawar dan tikus yang membawa virus semakin meningkat. Tingginya interaksi
hewan liar akibat maraknya perburuan dan perdagangan kemudian mendorong penyebaran berbagai penyakit tersebut ke manusia, atau disebut sebagai ‘zoonosis’. Untuk menyelesaikan berbagai
masalah yang saling terkait tersebut, ilmuwan mengatakan pemerintah bisa menerapkan konsep ‘_One Health_’. Konsep ini menggandeng berbagai pihak untuk bekerjasama menangani krisis iklim dan
penyakit dalam satu kerangka kebijakan yang terintegrasi. “ONE HEALTH” SEBAGAI SOLUSI KE DEPAN Sofia Mubarika, profesor ilmu kedokteran di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga merupakan
anggota AIPI, mengatakan pendekatan _One Health_ penting diterapkan untuk bisa mencegah munculnya pandemi baru. Kerangka ini bertujuan untuk mencegah, mengurangi, mengawasi, dan
mengendalikan risiko penyakit menular dengan mengidentifikasi hubungan erat antara manusia, hewan, dan ekosistem secara terkoordinasi di berbagai sektor. Di Eropa, misalnya, penyakit
_brucellosis_ yang disebabkan bakteri _Brucella_ pada hewan ternak berhasil dibasmi dengan vaksinasi dan pembunuhan hewan yang terdampak, secara sistematis. Keberhasilan ini terjadi karena
pemerintah lintas negara di Eropa mampu bekerjasama menyelaraskan berbagai kebijakan mereka di level nasional dan regional - termasuk mengidentifikasi ternak domestik, melakukan testing dan
mengawasi pergerakan mereka, serta memberikan kompensasi kepada peternak. PENERAPANNYA DI INDONESIA BELUM OPTIMAL Mubarika menjelaskan, berbagai kerangka _One Health_ di Indonesia pernah
diupayakan sejak 2011 melalui lembaga koordinasi seperti Komite Nasional Penanggulangan Zoonosis (KNPZ) dan _Zoonotic Diseases Action Package_ (ZDAP) yang bertugas menangani penyebaran
penyakit zoonosis seperti rabies, _anthrax_, dan flu burung. Namun, selama ini kerangka _One Health_ belum efektif karena merupakan satu faktor penting, yakni maraknya deforestasi, kata
Jatna saat dihubungi lebih lanjut oleh The Conversation akhir bulan lalu. Sedikit berbeda dengan kasus Eropa, ancaman zoonosis di Indonesia banyak didorong perdagangan hewan, yang sebaliknya
punya hubungan erat dengan kondisi hutan di Indonesia. “Sumbernya yang paling utama itu kan kita tahu memang penyakit menular ya _kan_ dari hewan liar. Tapi hewan liar ada di mana? Ada di
hutan,” katanya. “Bagaimana bisa sampai ke pasar [hewan]? Tentu saja kalau tambah deforestasi, kemudahan mengambil hewan liar pada waktu hutan sudah rusak kan gampang sekali.” Studi tahun
2020 dari Stanford University, AS, misalnya, menemukan bahwa fragmentasi habitat fauna di hutan - dari hutan yang luas menjadi beberapa petak kecil - akibat deforestasi dan konversi lahan
memperbanyak titik di mana interaksi antara manusia dan hewan liar mungkin terjadi. Padahal, laju deforestasi di Indonesia pada tahun 2018 merupakan yang tertinggi ke-tiga di antara negara
dengan hutan hujan tropis. Hal ini juga diperparah dengan berbagai proyek pembangunan jalan dan rel kereta yang diproyeksi memutus konektivitas habitat hutan di Kalimantan dari 89% menjadi
55%. Berkaca pada studi dari tim riset gabungan dari Inggris, Indonesia, dan beberapa negara Afrika, ini bisa memperparah perdagangan hewan di Kalimantan Tengah - seperti kalong besar
(_Pteropus vampyrus_) dari hutan gambut tropis - yang membawa risiko tinggi bibit penyakit zoonosis. “Mungkin kita tidak tahu kapan terjadinya karena seringkali _carried by chance_, tapi ini
bisa loncat dari wildlife ke ternak atau langsung ke manusia,” kata Jatna. LIBATKAN KLHK DALAM MITIGASI PENYAKIT MENULAR Karena angka perdagangan hewan liar dan munculnya penyakit zoonosis
diperparah oleh deforestasi, Jatna mengatakan lembaga manapun yang ditugaskan mengkoordinasi kerangka _One Health_ harus menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada
upaya sebelumnya, misalnya, mekanisme koordinasi Komite Nasional Penanggulangan Zoonosis baru dominan melibatkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pertanian (Kementan). “Kalau
kerusakan dari hutannya itu yang menyebabkan hewannya mudah ditangkap kemudian diperjual belikan, itu urusan di hulunya yaitu KLHK yang harusnya paling utama,” ujarnya. “Mereka kan yang
sebenernya punya misalnya data hutan.” Berbagai penelitian memberikan gambaran bagaimana KLHK bisa mengambil peran lebih dalam kerangka _One Health_ di Indonesia. Studi tahun 2020 yang
dilakukan tim peneliti dari 13 negara, misalnya, menyarankan berbagai kebijakan dari pengetatan aturan interaksi antara ternak domestik dengan satwa liar di hutan, hingga perluasan spesies
hutan (beserta habitat mereka) yang dilindungi dari konversi lahan, perdagangan hewan, dan pembangunan infrastruktur. ------------------------- _ READ MORE: BAGAIMANA MELINDUNGI HUTAN BISA
MEMBERIKAN KEUNTUNGAN FINANSIAL BAGI MASYARAKAT _ ------------------------- “Jadi [sebelum] terjadi di pasar burung dan pasar gelap lainnya, KLHK harus ikut terlibat betul bagaimana
penegakan hukumnya dan sebagainya,” kata Jatna. Riset sebelumnya dari Stanford University juga mengatakan bahwa memperbanyak area penyangga (_buffer zone_) - seperti melalui proyek
reforestasi - di sekitar hutan yang kaya biodiversitas, dapat meredam perdagangan satwa liar karena mengurangi kemungkinan interaksi mereka dengan manusia. Memotong aktivitas perdagangan
hewan liar langsung di sumbernya, yakni hutan, menjadi semakin penting mengingat tantangan yang besar bagi Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan dalam melakukan sosialisasi risiko
perdagangan satwa. Peneliti dari Oxford Brookes University di Inggris, misalnya, menemukan bahwa bahkan selama pandemi COVID, perdagangan online satwa liar di Indonesia dan Brazil tetap
tidak mengalami penurunan. Para pedagang meragukan risiko zoonosis akibat berbagai faktor seperti misinformasi, kepercayaan, hingga ekonomi. “Kalau sudah tahu 3 dari 4 penyakit _emerging_
sumbernya dari hewan liar, maka keterlibatan KLHK besar sekali, bukan hanya Kementerian Pertanian dan Kesehatan saja,” tegas Jatna. “Kerangka _One Health_ itu sesuai anjuran WHO betul-betul
semua unsur harus diteliti.”