Play all audios:
tirto.id - Dalam buku _Sejarah Nasional Indonesia V _(1993:199) disebutkan bahwa kelompok komunis bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Henk Sneevliet menyusup
ke Sarekat Islam. Buku karya Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan ini menyebutkan bahwa ISDV hendak meraih massa Sarekat Islam. __ Mereka disebutkan menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal
dengan nama ”blok di dalam”. ISDV pun berhasil menyusup ke tubuh Sarekat Islam. Caranya dengan menjadikan anggota ISDV menjadi anggota Sarekat Islam, dan sebaliknya menjadikan anggota
Sarekat Islam sebagai anggota ISDV. Sarekat Islam cabang Semarang adalah Sarekat Islam yang condong ke kiri, sehingga golongan kanan di Sarekat Islam pun gerah dengan pengaruh ISDV ini. Pada
Oktober 1921, ”Agus Salim dan Abdul Muis (Sarekat Islam kanan) mendesak agar ditetapkan peraturan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap,” tulis Nugroho Notosusanto dan
kawan-kawan. __ Tan Malaka sempat meminta disiplin partai itu tak berlaku untuk ISDV dan PKI, karena menurutnya komunis sejak awal sudah bersama dengan kelompok perjuangan Islam. __ ”Dengan
disiplin partai ini sayap kanan di bawah pimpinan Haji Agus Salim ingin mengeluarkan PKI,” tulis Harry Poeze dalam _Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik_ (1988:168). Kelompok kanan
akhirnya berhasil membersihkan Sarekat Islam dari orang-orang kiri. Namun, hal ini membuat kekuatan massa Sarekat Islam berkurang, dan hal itu menjadi kabar gembira bagi pemerintah kolonial.
”Datangnya Agus Salim membuat Tjokro agak lebih bisa ”dikendalikan” […] Kehadiran Agus Salim juga yang membuat idealisme Tjokro berubah agak lebih lunak, bijak, dan kooperatif terhadap
pemerintah kolonial,” tulis Iswara Nur Raditya dalam _Bapak Pergerakan Islam Indonesia_ dalam buku _7 Bapak Bangsa_ (2009:165). Meski tak sesangar ketika ada orang-orang kiri di dalamnya,
Sarekat Islam tetap punya banyak cabang di Hindia Belanda. Namun, kehadiran Agus Salim yang menyingkirkan orang-orang kiri dan membuat Tjokroaminoto "melunak", membuat sejumlah
pihak seperti Dr Soetomo dan Mr Singgih menuduh Agus Salim sebagai intelijen Belanda. Anhar Gonggong dalam _Haji Agus Salim: Teladan yang Cerdas-Unik Tetapi Berani Menderita_ dalam _Seribu
Tahun Nusantara _(2000:714), menyebut tuduhan Dr Soetomo kepada Agus Salim itu mengeruhkan suasana pergerakan di Surabaya. Sementara Mr Singgih, yang di majalah _Timboel_ nomor 5 tahun 1927
menyebut Salim masuk Sarekat Islam untuk membubarkan organisasi tersebut, pernah diundang Sarekat Islam untuk membuktikan tuduhan itu, tetapi tak datang. ISU SAREKAT ISLAM DIDEKATI JERMAN
Sebelum tahun 1942, Agus Salim memang pernah bekerja bagi pemerintah kolonial Belanda. Ia bertugas di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Setelah kembali ke Indonesia, seperti disebut
Allan Akbar dalam _Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934_ (2013:50), ”Salim sempat bekerja di beberapa tempat sekaligus menjadi agen polisi [dinas
intelijen politik] yang kemudian ditugaskan untuk masuk ke dalam tubuh Sarekat Islam untuk mengawasi lebih dekat.” Agus Salim bahkan jujur mengaku dirinya pernah melakukan penyelidikan
terhadap Sarekat Islam. “Bantuan saya yang diminta adalah sebuah penyelidikan yang berhubung tersiarnya desas-desus bahwa Tjokroaminoto menjual SI kepada Jerman seharga 150.000 gulden.
Dengan dana itu Tjkroaminoto akan melancarkan pemberontakan besar di tanah Jawa, sedang senjata dan perlengkapan lain disediakan oleh Jerman,” tulisnya dalam artikel "Ben Ik Een
Spion" di majalah berbahasa Belanda _Het Lich_ nomor 4/th III tahun 1927. Menurut Marle Calvin Ricklefs dalam _Sejarah Indonesia Modern 1200-2008_ (2008:373), Agus Salim menghadiri
rapat Sarekat Islam sebagai mata-mata polisi Belanda pada 1915. Kala itu Perang Dunia I sedang berkecamuk, Belanda tentu khawatir akan bahaya jika Jerman benar-benar "bermain"
dengan Sarekat Islam. Namun, Ricklefs menyebut isu Sarekat Islam yang didekati Jerman ternyata hanya isapan jempol, dan pemberontakan yang dicurigai akan dilakukan Sarekat Islam pun nyatanya
tak pernah terjadi. Sebagai pemuda bumiputra yang cerdas, Agus Salim adalah sosok yang ideal untuk dijadikan intelijen oleh pemerintah kolonial. Di zaman kolonial pernah ada Politieke
Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik yang bentuk pada 1916 dan bubar pada 1919. Menurut Allan Akbar dalam _Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia
Belanda 1916-1934 _(2013:6-7), meski PID sudah digantikan oleh Algemeene Recherche Dienst (ARD) atau Lembaga Polisi Rahasia, tetapi nama PID masih disebut untuk menyebut polisi yang
mengawasi kegiatan politik antara 1920-an hingga 1942. Dari memata-matai Sarekat Islam dan Tjokroaminoto, Agus Salim akhirnya benar-benar terjun aktif di organisasi itu. "[Agus Salim]
berbalik mendukung tujuan SI serta menjadikan komitmen Pan-Islam dan modernisme sebagai dasar yang tepat untuk menjalankan kegiatan politik,” tulis Ricklefs. Sebagai lulusan terbaik SMA
kolonial HBS KW III Batavia, Haji Agus Salim adalah sosok yang terpelajar di zamannya. Dan sebagai pemimpin Sarekat Islam, ia adalah sosok yang memberi teladan soal kesederhanaan dan berani
untuk menderita. Semasa aktif di Sarekat Islam, Agus Salim pernah duduk di Volksraad (Dewan Rakyat). __ TIRTO.ID - Politik Penulis: Petrik Matanasi Editor: Irfan Teguh Pribadi