Play all audios:
tirto.id - Sore itu deru rombongan pengendara motor terdengar mendekat. Tak lama kemudian mereka melintas di Jalan Solontongan sambil membentangkan syal biru bertuliskan Persib. Saya tengah
duduk di depan sebuah kedai kopi, Kedai Preanger, menunggu siang cepat berlalu.__ “Pukul berapa sekarang?” tanya Iwang sambil mendekat. Karyawan sebuah lembaga bimbingan belajar itu tak
sabar menanti jam menyentuh angka 18.30. “Lama betul Magrib datang,” sambungnya. Saya dan Iwang tak bisa nonton di stadion Gelora Bandung Lautan Api. Tiket terlampau mahal, dan bagi dia
pekerjaan tak bisa ditinggalkan.__ Sebetulnya hasrat menonton langsung Persib di stadion sudah jarang singgah. Apalagi Persib mainnya sedang butut. Tapi malam ini lawan Persija. Seteru dari
ibu kota yang wajib dikalahkan. Tensi tinggi sudah menguar dari kemarin. __ Setengah jam jelang kick-off, saat jalanan mulai lengang, seorang kawan datang. Saya memanggilnya Akay. Ia baru
selesai mengantarkan kerupuk udang ke warung-warung di penjuru Kota Bandung. Saat singgah di Cigondewah, ia melihat rombongan bobotoh tengah berkumpul di depan sebuah kedai kopi dan hendak
menuju ke stadion. “Dari atas jembatan penyeberang jalan tol, tadi sekitar pukul dua, saya melihat rombongan bobotoh dari luar kota sudah berdatangan. Di perempatan Buahbatu pun tadi pas
saya berangkat sudah ramai. Biru. Di mana-mana biru,” ujarnya. “_Sima aing sima maung/ Maung aing maung Bandung/ Loyalitas ulah tanggung/ Nu di kota nu di kampung/ urang dukung Persib
Bandung!_” Tiba-tiba lagu itu diputar oleh Aip dengan begitu keras. Kontributor salah satu portal berita nasional itu meninggalkan laptopnya, berdiri, lalu bernyanyi sambil bergoyang.
Barangkali karena mendengar lagu, seorang penjual bakso berhenti meminggirkan gerobaknya dekat kios rokok, lalu mendekati kami. “Sudah main, ya?” tanyanya dengan logat Jawa yang cukup
kental. “Belum, Mas. Sebentar lagi,” jawab saya. Usianya mungkin sudah kepala enam. Kami pun tak pernah tahu namanya. Juga entah berasal dari daerah mana. Logat Jawa-nya kerap tiba-tiba
terdengar di dekat pintu kedai saat kami nonton Persib lewat televisi 21 inci. Ia tak pernah masuk kedai, hanya berdiri di dekat pintu sambil sesekali mengawasi gerobak baksonya. Kalau
Persib kalah, ia pamit menuju gerobaknya sambil menggerutu. Sepuluh menit jelang wasit meniup peluit pertandingan babak pertama, satu persatu kawan-kawan yang lain mulai berdatangan.
Sementara di kios rokok yang jaraknya hanya sepuluh langkah dari kedai; tukang becak, sales roti, dan pegawai laundry telah siap menyaksikan laga panas. “_Buru atuh, lila_!” (Cepat dong,
lama!) Bentak seorang kawan sambil melemparkan botol kosong air mineral kepada komentator yang asyik berceloteh di televisi. Vokalis band punk yang telah kenyang manggung di GOR Saparua itu
tak lagi jatmika seperti biasanya. Ia yang mengidap wajah tenang hampir sepanjang hari, mulai meledak-ledak. Dan peluit tanda pertandingan dimulai pun berbunyi. “_Anteneuna gésérkeun kurang
alus_!” (Antenanya geserkan gambarnya kurang bagus!) perintah Akay kepada Iwang yang duduk dekat antena. Sembilan orang di dalam kedai, satu orang di luar dekat pintu. Wajah-wajah tegang dan
maras. Teriakan bersahutan. Tiga nama binatang sudah diabsen, plus nama makhluk yang tidak sudi bersujud kepada Adam. ORANG BANDUNG MENONTON LEWAT TV Bandung di hari saat Persib main serupa
kaki dibenam lanyau. Orang-orang terburu meninggalkan aktivitasnya. Yang tak bisa datang ke stadion berkerumun di depan televisi: di pangkalan ojek, kios rokok, kedai kopi, ruang tunggu
terminal, jongko tukang cukur, dll. Warga Bandung yang tak tertarik dengan Persib kiranya ada tiga golongan: pendukung klub lain, darahnya kurang biru, dan orang-orang yang menganggap
sepakbola sebagai bentuk tribalisme yang harus dihindari. Sementara golongan yang kerap mengutuk Persib jika bermain jelek, dan berulang-ulang berkata malas nonton lagi, tak pernah
benar-benar bisa meninggalkan pertandingan. 7 November 2014, saat Persib tampil di final Indonesia Super League melawan Persipura, sedari siang menjelang sore jalanan Kota Bandung mulai
terlihat lengang. Nonton bareng digelar di setiap penjuru kota. Kerinduan akan juara yang telah absen 19 tahun dari bumi Pasundan membuat kota seakan lautan dinamit. Kalah atau menang akan
membuat kota meledak. Bersama seorang kawan saya tergesa menuju balai kota. Motor yang kami tunggangi menggilas jalanan yang senyap. Macet yang tiap sore hadir dengan wajah menyebalkan sore
itu lenyap. Seisi kota tenggelam dalam ketegangan yang terus memuncak dari detik ke detik. Ketika tendangan Ahmad Jufriyanto mengoyak gawang yang dijaga Dede Sulaiman, Bandung pecah! Malam
tadi, Persib ditahan imbang. Kali ini gol Ahmad Jufriyanto tak berhasil mempertahankan kegembiraan bobotoh. 90 menit plus waktu tambahan yang dipenuhi teriakan, umpat, serapah, dan nyanyian
dipungkas oleh murung berjamaah. Persija bermain dengan kesiapan bertarung yang nyaris sempurna. Macan Kemayoran tak goncang oleh gol cepat Ahmad Jufriyanto, tidak juga oleh teror ribuan
bobotoh. Alih-alih membuat mental merosot, lemparan botol dari para bobotoh justru dimanfaatkan oleh para pemain Persija untuk men-_delay_ permainan. Bobotoh semakin kesal. Cukup jelas siapa
yang akhirnya keteteran sendiri oleh perang mental itu. “_Gagal meunang deui wae, anjir_ (Gagal menang lagi),” ujar Akay. "_Kumaha rek meunang? Persib maena butut jiga beungeut maneh!_
(Gimana mau menang? Persib mainnya jelek seperti wajahmu itu)," sambit kawan yang lain. Kawan-kawan terlihat lesu. Tukang becak, sales roti, dan pegawai binatu membubarkan diri dari
kios rokok sambil mengemasi kekecewaan, dengan mulut yang penuh gerutu. Tadi malam, Persija cukup berhasil membuat orang-orang Bandung manyun.