Play all audios:
Siasat kelompok Islam-politik menggunakan jalur demokratis untuk menyampaikan aspirasi konservatif mereka secara signifikan telah mengubah lanskap demokrasi Indonesia. Terinspirasi oleh
keinginan untuk menata masyarakat berdasar ideal-ideal yang diambil dari interpretasi atas Islam, kelompok Islam-politik–mulai dari Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hingga elemen-elemen di dalam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah–berupaya memperjuangkan aspirasi-aspirasi yang umumnya
dianggap tidak demokratis lewat cara-cara yang demokratis. Selama ini, Islam-politik memiliki keterlibatan yang terbatas dalam demokrasi Indonesia. Pada sejumlah momen, Islam-politik bahkan
mengampanyekan ide-ide yang bertentangan dengan demokrasi. Misalnya, pada tahun 2013, pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab menolak ide pemilihan umum sembari mengingatkan bahwa,
bagi seorang Muslim, mendukung demokrasi sama buruknya seperti memakan daging babi. Meski demikian, keinginan untuk meraih pengaruh politik yang lebih luas dalam kehidupan publik mendorong
kalangan Islam-politik untuk mengubah siasat. Upaya mereka untuk menggunakan jalur-jalur demokratis dalam memperjuangkan kepentingan mereka mencerminkan keinginan ini. MENEROBOS EKSKLUSI
Islam-politik nyaris selalu berada di posisi yang marjinal dalam pergulatan politik di Indonesia. Ketidakmampuan kelompok Islam-politik untuk membangun koalisi lintas-kalangan serta kuatnya
fragmentasi internal Islam-politik membuat kelompok ini kesulitan membangun pengaruh yang signifikan. Selepas reformasi, para peneliti melihat arus konservatisme perlahan tumbuh. Keinginan
untuk memperkuat pengaruh syariat dalam kehidupan publik semakin sering disuarakan dan mulai memperoleh dukungan yang lebih kuat. Tetapi tumbuhnya arus konservatisme tidak serta merta
menghilangkan eksklusi politik Islam-politik. Setelah reformasi pun, Islam-politik seringkali dipotret media, aktivis demokrasi, dan lawan politiknya sebagai kelompok yang merugikan
demokrasi dan kebinekaan. Penelitian menggambarkan bagaimana kelompok ini menerima stigma akibat gagasan yang mereka percayai. Negara, akademisi, dan masyarakat sipil kerap memperlakukan
Islam-politik sebagai warga yang perilaku dan gagasannya bermasalah dan perlu diperbaiki. Sementara institusi formal politik tak mudah mereka akses. Di tengah dominasi narasi demokrasi dan
kebinekaan dalam arena politik Indonesia pasca-Reformasi, potret-potret ini praktis membuat kalangan Islam-politik tampil sebagai orang-orang menyimpang dengan tuntutan tak masuk akal. Di
sisi lain, kalangan Islam-politik menyimpan kecurigaan yang besar terhadap narasi demokrasi, toleransi, dan nasionalisme. ------------------------- _BACA JUGA: Apakah penggunaan istilah
belokan ‘illiberal’ bermanfaat bagi demokrasi Indonesia?_ ------------------------- Tahun 2016 dan 2017 menandai lembaran baru yang penting bagi Islam-politik. Rentetan Aksi Bela Islam
menggambarkan bagaimana arus konservatisme berhasil meraih momentum dalam perjuangannya di Indonesia. Kalangan Islam-politik bukan hanya meraih simpati yang luas dari publik. Mereka juga
berhasil memaksa aktor-aktor yang lebih mapan–mulai dari para anggota perwakilan rakyat, partai politik, pejabat politik yang dipilih lewat pemilu, birokrat, pebisnis, sampai masyarakat
sipil–dalam demokrasi Indonesia untuk memperhitungkan kekuatan dan tuntutan Islam-politik dengan serius. MENGUBAH SIASAT Untuk mengatasi eksklusi politik yang mereka alami, Islam-politik
berupaya memperjuangkan aspirasi politik mereka lewat jalur-jalur demokratis. Berangkat dari klaim kebebasan berpendapat, kelompok Islam-politik menggunakan repertoar pawai dan demonstrasi
untuk menyuarakan tuntutannya. Klaim sebagai warga yang setara di depan hukum menjadi alasan Islam-politik menggunakan jalur-jalur legal untuk membuat kepentingannya terpenuhi. Dalam
menghadapi tuduhan bahwa Islam-politik mengancam persatuan Indonesia, Islam-politik berusaha menegaskan komitmennya terhadap Pancasila dan kesatuan bangsa. Melalui manuver ini, Islam-politik
mengincar partisipasi yang lebih besar dalam politik Indonesia. Dengan mengakui aturan main sistem demokratis, Islam-politik berharap dapat diakui sebagai pemain yang sah dalam politik
Indonesia. Meski demikian, kompromi kalangan Islam-politik terhadap demokrasi menyimpan ambiguitas. Keputusan untuk sepenuhnya menundukkan diri pada demokrasi menuntut kelompok ini untuk
melupakan sebagian aspirasi-aspirasi konservatif mereka. Sebaliknya, tanpa ada upaya untuk memasuki ruang demokrasi, aspirasi-aspirasi tersebut tak akan mampu meraih banyak pengaruh. Tak
heran, Islam-politik berusaha membangun interpretasi spesifik yang bisa menghubungkan demokrasi, toleransi, dan kesatuan nasional dengan aspirasi-aspirasi konservatif mereka. Sebagai
ilustrasi, kampanye melawan penganut Syiah dimengerti sebagai upaya melindungi persatuan dan keselamatan Indonesia. Sementara itu usaha membatasi gerak kelompok LGBTQ dipahami sebagai usaha
menjaga moralitas masyarakat. MENYESUAIKAN STRATEGI TANDINGAN Di tengah lanskap politik yang berubah, upaya untuk menahan laju konservatisme di Indonesia mesti mengalami penyesuaian. Namun,
pemerintah dan kekuatan demokratis lainnya cenderung belum sensitif terhadap perkembangan ini. Mereka masih berupaya mengendalikan pengaruh Islam-politik dengan cara mengeksklusi kalangan
tersebut dari arena politik di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mereproduksi potret-potret negatif tentang kelompok Islam-politik sebagai sosok yang anti-demokrasi, mengutamakan
kekerasan, serta mengancam Pancasila. Potret-potret ini pada gilirannya memberi pemerintah legitimasi untuk membatasi ruang gerak kelompok Islam-politik melalui pembubaran HTI menggunakan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2017 yang juga bisa berdampak pada organisasi kemasyarakatan lainnya. Inisiatif yang membatasi gerak Islam-politik bisa dimengerti
karena banyak pihak melihat mereka menyusup ke dalam demokrasi. Tetapi eksklusi juga berisiko membuat kekuatan demokrasi gagal melihat kesediaan Islam-politik berkompromi dengan aturan main
demokrasi. Sejauh mana kompromi ini dilakukan mesti dilihat lebih jauh di masa depan. Strategi yang tepat untuk menghadapi lanskap baru ini masih perlu dipelajari. Namun, yang pasti,
inisiatif untuk terus memperlakukan Islam-politik sebagai aktor pinggiran cenderung kontra-produktif. Strategi ini berisiko memperkuat perasaan Islam-politik bahwa mereka memang sengaja
disisihkan—bahkan ketika mereka bersedia mengikuti aturan main demokrasi sekali pun. Hal ini bukan hanya dapat memukul mundur komitmen untuk terlibat dalam demokrasi secara lebih serius tapi
juga dapat menyebarkan perasaan putus asa di kalangan Islam-politik sehingga membuka jalan bagi radikalisasi lebih jauh. Upaya memberi label negatif pada Islam-politik karenanya perlu
disudahi. Bukan hanya karena pemberian label ini tidak berhasil mendelegitimasi aktivitas Islam-politik di mata masyarakat, tetapi juga karena pelabelan itu justru mempersatukan dan
mempertegas identitas Islam-politik. Alih-alih terus menyisihkan Islam-politik dari demokrasi, aktivis, pemerintah, dan peneliti dapat berpikir tentang bagaimana cara mendorong kelompok
Islam-politik untuk berkompromi lebih jauh dengan idealisme demokrasi. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat demokrasi menjadi satu-satunya domain di mana keputusan politik penting dibuat
sehingga Islam-politik mesti masuk dan berkompromi. Atau dengan menanam demokrasi lebih dalam di masyarakat sehingga publik tak akan terpikat oleh aktor yang tidak berpijak di atas idealisme
demokrasi.